Inibaru.id - Kamu pernah membayangkan sebuah sistem digital yang bisa membuat kontenmu lenyap hanya dalam hitungan jam? Diam-diam, Indonesia kini punya mekanisme itu, lo. Namanya SAMAN alias Sistem Kepatuhan Moderasi Konten milik Kominfo/Komdigi.
Sekilas, sistem ini terdengar seperti upaya serius negara melawan judi online, pornografi, atau eksploitasi anak. Tapi seperti banyak kebijakan digital lain, persoalannya muncul saat prosesnya gelap dan publik nggak tahu bagaimana keputusan dibuat.
Secara sederhana, SAMAN adalah dashboard resmi yang memungkinkan pemerintah mengirim Surat Perintah Takedown langsung ke platform seperti Instagram, TikTok, YouTube, hingga X.
Ada tenggat waktu:
- 4 jam untuk konten “mendesak”
- 24 jam untuk konten lain
Kalau platform nggak patuh, ancamannya denda administratif hingga pemblokiran akses.
Dari sisi tujuan, sistem ini tampak mulia. Pemerintah tinggal menekan satu tombol, dan konten berbahaya bisa hilang sebelum sempat menyebar. Cepat, efektif, presisi.
Tapi masalahnya bukan di teknologinya. Masalahnya ada di definisi, pengawasan, dan potensi kekuasaan yang terlalu besar.
Istilah 'Meresahkan Masyarakat' yang Kabur
Dalam indeks urgensi konten yang digunakan SAMAN, ada kategori bernama “mendesak (konten meresahkan masyarakat)”. Istilah ini sangat lentur. Apa definisi meresahkan? Siapa yang menentukan? Apa tolok ukurnya? Apakah kritik terhadap pejabat bisa dianggap “meresahkan masyarakat”? Apakah liputan investigatif tentang kebijakan bermasalah bisa masuk kategori “mendesak”?
Ironisnya, dalam tabel urgensi itu, judi justru dikategorikan nggak mendesak.
Sementara “meresahkan masyarakat” yang definisinya kabur justru masuk prioritas tinggi.
Tanpa pengawasan independen, SAMAN bisa menjadi alat untuk:
- Menghapus kritik publik
- Menekan liputan jurnalistik
- Menurunkan karya edukasi yang dianggap “sensitif”
- Mengontrol isu politik tertentu menjelang momentum penting
Ini bukan kekhawatiran kosong, Gez.
Banyak negara lain mulai dari India hingga Turki mengalami masalah serupa ketika pemerintah memiliki tombol takedown yang dapat dipakai tanpa transparansi.
Diperlukan Transparansi dan Akuntabilitas
Di banyak negara, mekanisme penghapusan konten selalu diawasi lembaga independen, dilengkapi laporan publik berkala, hingga prosedur banding bagi warganet. Prinsipnya jelas: kekuatan untuk menghapus konten harus sebanding dengan mekanisme pengawasannya.
Sayangnya, hingga kini publik belum mengetahui:
- Siapa yang menilai sebuah konten “mendesak”?
- Apakah ada proses verifikasi berlapis?- Adakah laporan transparansi yang bisa diakses publik?
- Bagaimana mekanisme keberatan jika konten diturunkan secara nggak tepat?
Tanpa jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu, SAMAN bisa menjadi pisau bermata dua: melindungi sekaligus membungkam.
SAMAN memang bisa jadi alat penting untuk memberantas konten berbahaya. Tapi ia juga bisa berubah menjadi ancaman jika nggak diawasi. Ruang digital yang aman hanya bisa tercipta jika kebijakan digital dibuat terbuka, transparan, dan akuntabel.
Karena pada akhirnya, perlindungan nggak boleh berubah menjadi pembungkaman.
Kita harus mengakui bahwa kita butuh ruang digital yang aman, tapi tentunya tanpa mengorbankan kebebasan berekspresi. Betul kan, Gez? (Siti Zumrokhatun/E05
