Inibaru.id - Di tengah riuh rendahnya pusat perbelanjaan, kafe estetik, dan pasar tradisional, ada pemandangan yang kian sering kita temui: kerumunan orang berswafoto di depan kedai kopi, duduk lama di food court tanpa membawa nampan, atau lalu-lalang di kios UMKM tanpa satu pun kantong belanja. Ya, mereka adalah “Rojali” alias Rombongan Jarang Beli.
Sekilas terdengar lucu, istilah ini memang sempat viral sebagai lelucon di media sosial. Tapi jika dicermati lebih dalam, “Rojali” bukan sekadar plesetan yang menghibur. Ia mencerminkan sesuatu yang jauh lebih serius: krisis daya beli masyarakat.
Kalau dulu orang ke mal memang niat belanja, sekarang banyak yang datang cuma numpang sejuknya AC, cari suasana, atau sekadar “healing” gratis. UMKM di pasar pun tak luput dari fenomena ini. Ramai yang datang, tapi pembeli tetap bisa dihitung dengan jari.
Bukan tanpa sebab. Harga kebutuhan pokok makin melonjak, sementara penghasilan stagnan. Biaya hidup naik, dari transportasi, pendidikan, hingga cicilan. Nggak heran, prioritas masyarakat kini bergeser. Nongkrong boleh, tapi beli? Nanti dulu.
Fenomena ini tersebar merata, dari pusat kota hingga pelosok desa. Semaraknya keramaian ternyata nggak selalu berarti geliat ekonomi. Banyak pelaku usaha kecil yang mulai frustrasi. Mereka bilang, “Yang datang banyak, tapi yang beli cuma satu-dua.”
“Rojali” adalah cermin baru dari masyarakat yang bertahan di tengah tekanan ekonomi. Mereka tetap ingin menikmati hidup, walau harus berhemat sebisa mungkin.
Kalau kondisi ini dibiarkan, bukan nggak mungkin UMKM dan sektor ritel makin megap-megap. Daya beli bukan cuma angka di statistik ekonomi, tapi napas keseharian rakyat. Maka, pertanyaannya: akankah “Rojali” terus jadi tren, atau kita mulai mencari cara agar “rombongan” ini kembali jadi pembeli sejati?
Bukti Ekonomi Lesu?
Fenomena Rojali, menurut Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) David E Sumual menyelimuti semua kalangan. Untuk golongan menengah ke bawah, mungkin hal ini nggak aneh. Tapi, bagaimana dengan masyarakat menengah ke atas? Ke mana mereka membelanjakan uang?
Menurut David, kelompok masyarakat ini banyak yang menyimpan uang ke produk investasi, misalnya deposito, giro, saham, surat berharga negara (SBN), perhiasan, emas, hingga emas digital.
"Instrumen investasi sedang menarik bagi mereka sehingga mereka lagi ke sana dulu," kata David, Jumat (18/7).
Hingga saat ini, konsumsi masyarakat menengah ke atas belum menunjukkan perbaikan. Padahal, golongan ini menyumbang porsi hingga 70 persen. Apakah ini tanda daya beli masyarakat benar-benar turun?
Baca Juga:
Ekonomi Lesu tapi Tiket Konser Ludes, Apakah Indonesia Diguncang Fenomena 'Lipstick Effect'?Menanggapi hal ini, Direktur Bina Usaha Perdagangan Kemendag, Septo Soepriyatno membantah. Dia menilai, fenomena Rojali menunjukkan perubahan pola konsumsi masyarakat yang menjadikan mal nggak hanya sebagai tempat berbelanja, melainkan juga sebagai ruang publik dan tempat rekreasi.
Menurutnya, momentum pergeseran ini dapat dimanfaatkan oleh ritel konvensional dan pusat-pusat belanja untuk melakukan perubahan strategi dengan memberikan ruang yang lebih bagi penyewa dengan konsentrasi produk lifestyle, serta penyewa di sektor makanan dan minuman (FnB).
“Kami melihat hal ini sebagai sinyal penting karena masyarakat kembali memenuhi pusat belanja kita dan suksesnya transformasi ritel menuju model bisnis yang lebih adaptif, dengan melakukan transformasi konsep, serta terintegrasi secara digital melalui omnichannel,” kata Septo mengutip Kompas, Senin (21/7).
Menarik ya? Kalau menurutmu, fenomena “Rojali” merupakan cermin bukti penurunan daya beli atau hanya perubahan perilaku, Gez? (Siti Zumrokhatun/E05)
