Inibaru.id - Upaya pencegahan bullying di sekolah kembali memasuki fase penting. Kali ini, bukan hanya pemerintah yang bergerak, tetapi juga para guru Bimbingan Konseling (BK), psikolog, hingga orangtua yang akan diajak duduk bersama untuk merumuskan aturan baru yang lebih manusiawi dan partisipatif.
Ketua Komisi X DPR, Hetifah Sjaifudian, menegaskan bahwa penyusunan Permendikdasmen anti-bullying harus benar-benar komprehensif, bukan sekadar menambal kebijakan yang sudah ada, melainkan menggali akar masalah secara lebih mendalam.
Gaya baru dalam merumuskan kebijakan ini terasa berbeda. Hetifah menyebut Indonesia sudah “darurat kekerasan”. Banyaknya kasus bullying yang melibatkan anak, baik sebagai korban maupun pelaku jadi alarm keras bahwa sekolah bukan lagi tempat yang selalu aman.
“Supaya kita benar-benar tahu akar masalahnya di mana,” ujarnya.
Pendekatan yang hanya berfokus pada siswa sudah nggak cukup. Lingkungan, orangtua, bahkan kondisi rumah anak ikut membentuk perilaku mereka di sekolah. Pelaku kekerasan sering kali merupakan korban di tempat lain.
Dari sinilah konsep sekolah aman dan nyaman kembali digaungkan. Bukan hanya berbicara soal kurikulum atau aturan tertulis, tetapi juga detail kecil seperti tata letak toilet, pencahayaan, hingga ruang-ruang yang rawan terjadi perundungan. Infrastruktur ternyata berkontribusi besar terhadap rasa aman. Ketika sebuah sudut sekolah saja nggak ramah, bagaimana mungkin anak berani bersuara?
Guru BK pun menjadi sorotan. Profesi yang mestinya berada di garis terdepan dalam membaca perubahan perilaku siswa ini, menurut Hetifah, kerap terjebak pada pola kerja reaktif: baru bergerak ketika masalah terjadi. Padahal, tantangannya kini jauh lebih kompleks. Anak perlu dikenali lebih dalam, bukan hanya dilihat dari prestasi atau perilaku saat di sekolah.
“Sekarang enggak bisa cuek lagi,” tegasnya.
Guru dan orangtua harus lebih peka, lebih peduli, dan lebih siap mendampingi anak menghadapi tekanan sosial yang makin besar.
Sementara itu, Mendikdasmen Abdul Mu’ti memastikan pemerintah tengah menyelesaikan regulasi baru sebagai revisi Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang PPKSP. Regulasi itu diharapkan membawa napas baru yang lebih humanis, lebih melibatkan banyak pihak, dan lebih sensitif terhadap dinamika psikologis anak.
Jika sebelumnya aturan lebih menekankan penanganan, kini pemerintah mencoba memperkuat pencegahan. Pendekatan partisipatif ini membuka ruang bagi guru, orangtua, hingga masyarakat sekitar sekolah untuk menjadi bagian dari solusi. Karena, seperti yang sering diingatkan para pemerhati pendidikan, bullying adalah masalah ekosistem, bukan masalah satu-dua anak.
Gerakan ini bisa jadi momentum penting. Jika semua pihak benar-benar dilibatkan, sekolah bukan lagi tempat yang menakutkan, melainkan ruang aman di mana setiap anak bisa tumbuh tanpa rasa takut. Semoga regulasi baru ini bukan sekadar aturan, tetapi pintu menuju budaya baru seperti budaya peduli, empati, dan saling menjaga.
Menyangkut bullying di sekolah, menurutmu apa hal pertama yang harus dibenahi, Gez? (Siti Zumrokhatun/E05)
