BerandaHits
Sabtu, 22 Nov 2025 15:01

Buruknya Minat Baca Kita; Siapa yang Patut Dicela?

Penulis:

Buruknya Minat Baca Kita; Siapa yang Patut Dicela?Siti Khatijah
Buruknya Minat Baca Kita; Siapa yang Patut Dicela?

Ilustrasi: Dibutuhkan peran kolaboratif masyarakat, termasuk pemerintah, pendidik, warga, dan tentu saja para orang tua untuk menumbuhkan budaya literasi di Indonesia. (Getty Images/commoner28t via Thoughtco)

Rendahnya minat baca kita dipicu oleh banyak faktor. Upaya menumbuhkan budaya literasi itu bisa dimulai dari anak, tapi diperlukan peran kolaboratif masyarakat, pemerintah, pendidik, dan tentu saja orang tua untuk mencapainya.

Inibaru.id - Menikai minat baca kita yang dianggap sangat kecil oleh Unesco nggak bisa sepenuhnya dialamatkan kepada masyarakat, karena keinginan untuk menikmati buku juga nggak lepas dari ketidakmerataan fasilitas yang tersedia.

Hal inilah yang yang menjadi kritik keras Sri Rejeki. Kiki, demikian perempuan yang berprofesi sebagai guru di sebuah SD negeri di Jateng itu biasa disapa, menilai bahwa minat baca yang rendah juga dipicu oleh fasilitas seperti perpustakaan atau ruang baca yang nggak merata di Indonesia.

"Saya pernah mengajar di luar Jawa yang beberapa sekolahnya nggak memiliki perpus, padahal di situlah sumber anak mencari bacaan, kan? Kalaupun ada perpus, seringkali koleksi yang dimiliki juga usang dan kadang nggak relevan untuk anak, jadinya mereka nggak minat," tuturnya via pesan suara, Jumat (21/11).

Sebagai guru, dia menilai institusi sekolah punya peran penting untuk memantik minat baca anak, karena berdasarkan pengamatannya, banyak keluarga di Indonesia yang belum menjadikan budaya membaca sebagai salah satu nilai penting di rumah mereka.

"Nggak usah jauh-jauh ke keluarga orang; minat baca saya juga bukan dari rumah, kok. Saya kenal buku di perpus sekolah. Inilah alasan kenapa saya berani bilang bahwa institusi sekolah punya peran penting untuk memantik minat baca anak!" tegasnya.

Pentingnya Peran Sekolah

Setali tiga uang, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti juga menegaskan bahwa minat baca yang kuat nggak lepas dari peran sekolah. Peningkatan literasi, lanjutnya, harus menjadi gerakan nasional yang melibatkan sekolah, penerbit, pemerintah, guru, serta masyarakat luas.

“Kalau kita tidak bangun budaya membaca, tidak kita bangun budaya menulis, dan tidak kita bangun budaya anak kita belajar dengan buku sebagai kuncinya, kita tidak menjadi bangsa yang maju,” ujar Mu’ti saat membuka Musyawarah Nasional ke-20 Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) di Jakarta, Rabu (19/11/2025).

Mu’ti menggarisbawahi lemahnya kemampuan siswa dalam memahami teks naratif, salah satu penyebab rendahnya capaian literasi dalam berbagai asesmen nasional dan internasional. Da menilai tantangan membangun budaya membaca di Indonesia masih sangat besar.

Untuk menjawab problem literasi, pemerintah telah menerapkan berbagai kebijakan sejak Mu’ti mulai menjabat. Pendekatan deep learning menjadi salah satu metode yang digunakan untuk memperkuat kecakapan berpikir mendalam dan keterampilan berbahasa siswa.

Selain itu, kementerian juga mendorong pembiasaan tujuh kebiasaan baik bagi peserta didik, termasuk kegemaran belajar dan berinteraksi sosial, yang mencakup aktivitas membaca dan menulis.

Membaca Buku dan Menyusun Resensi 

Ilustrasi: Sekolah didorong untuk tetap memberikan PR kepada siswa berupa keharusan membaca buku hingga tuntas dan menyusun resensinya. (Instagram/microlibrary_warakkayu)
Ilustrasi: Sekolah didorong untuk tetap memberikan PR kepada siswa berupa keharusan membaca buku hingga tuntas dan menyusun resensinya. (Instagram/microlibrary_warakkayu)

Salah satu langkah konkret untuk menumbuhkan budaya literasi ini adalah dengan mendorong sekolah tetap memberikan pekerjaan rumah (PR). Namun, Mu’ti menegaskan bahwa PR bukan lagi sekadar menjawab soal, melainkan membaca buku hingga tuntas dan menyusun resensinya.

"Dengan pola ini, kemampuan membaca yang matang akan memupuk kecerdasan berpikir anak, tegasnya. “Anak-anak kita tidak mampu menulis dan ini masalah yang sangat serius. Mereka tidak akan mungkin menjadi generasi yang kritis kalau mereka tidak menjadi pembaca yang baik."

Mu’ti menolak anggapan bahwa digitalisasi pendidikan otomatis menyingkirkan praktik menulis. Menurutnya, teknologi justru dapat melengkapi proses pembelajaran.

Murid tetap bisa menonton video pembelajaran di panel interaktif, kemudian guru memberi tugas membuat catatan dengan tulisan tangan. Menurutnya, literasi dasar tetaplah yang utama.

Nggak lupa, dia juga menyoroti peran orangtua, khususnya berkaitan dengan pembiasaan menyediakan buku di rumah. Mu’ti menyindir sikap sebagian orangtua yang lebih rela membeli barang konsumtif mahal tapi keberatan ketika harus membeli buku untuk anak.

“Kalau dia membeli sesuatu yang sifatnya konsumtif, berapa pun harganya dia mau. Tapi, beli buku untuk anak Rp20 ribu saja komplain di medsos. Masyarakat yang seperti ini juga perlu diubah,” katanya.

Alokasi Dana BOS untuk Buku

Upaya untuk menyediakan fasilitas pendukung literasi anak di sekolah sebetulnya nggak benar-benar nihil. Mu’ti menegaskan bahwa setiap sekolah penerima Dana BOS wajib mengalokasikan minimal 10 persen dari total dana untuk pengadaan buku. Ketentuan ini sudah diatur dalam Permendikbudristek Nomor 8 Tahun 2025.

“Kalau 10 persen masih kurang (untuk beli buku), tahun depan dana BOS saya minta ubah peruntukannya,” tegasnya.

Sementara itu, berbicara di forum yang sama, Ketua Umum Ikapi, Arys Hilman Nugraha, menyampaikan bahwa dunia penerbitan Indonesia tengah menghadapi tantangan besar di tengah era digitalisasi, rendahnya frekuensi membaca, harga buku yang dianggap mahal, hingga maraknya pembajakan.

Meski begitu, penerbit tetap yakin bahwa buku memegang peran penting dalam membangun peradaban bangsa. Dengan penekanan dari Menteri Mu'ti, dia menganggapnya sebagai dukungan untuk memperkuat lagi peran penerbit, karena semua itu berawal dari buku.

"Kami berharap Gerakan Literasi Nasional dan Gerakan Literasi Sekolah terus diperkuat melalui penyediaan bacaan yang menggugah minat baca dan perbaikan kualitas perpustakaan," tutur Arys.

Minat baca kita adalah tanggung jawab kita bersama. Nggak ada yang layak dicela, karena kita semua berperan dalam rendahnya literasi di negari ini. Maka, diperlukan kolaborasi besar lintas pihak utama membangun ekosistem literasi yang sehat dan relevan dengan perkembangan zaman.

Tanpa upaya serius membangun budaya membaca dan menulis, Indonesia berisiko tertinggal dalam kemampuan berpikir kritis dan kreativitas generasi mudanya. Saatnya bergerak bersama! (Siti Khatijah/E10)

Tags:

Inibaru Indonesia Logo

Inibaru Media adalah perusahaan digital yang fokus memopulerkan potensi kekayaan lokal dan pop culture di Indonesia, khususnya Jawa Tengah. Menyajikan warna-warni Indonesia baru untuk generasi millenial.

Sosial Media
A Group Member of:
medcom.idmetro tv newsmedia indonesialampost

Copyright © 2025 Inibaru Media - Media Group. All Right Reserved