Inibaru.id - Di dalam panggung kehidupan, ada sebuah peran yang sering dimainkan dengan cemerlang oleh banyak perempuan: peran "gadis baik". Dalam drama sosial yang tak terelakkan, gadis baik adalah pahlawan tak dikenal yang mampu menenangkan badai, menghadapi tekanan, dan menjaga keharmonisan dengan keanggunan yang luar biasa.
Namun, di balik senyum yang selalu bersinar, terseliplah suatu dilema yang sering kali luput dari sorotan: apakah benar-benar mungkin untuk hidup dengan kebaikan yang selalu tanpa cela?
Baca Juga:
Bisa Sehatkan Mental, Apa itu Komorebi?Sindrom gadis baik adalah cermin yang memantulkan bayangan ekspektasi yang tak terbendung. Dari kecil, perempuan diajarkan untuk memenuhi standar tertentu dalam perilaku, penampilan, dan kesopanan.
Mereka diajarkan untuk menjadi penyayang, penyabar, dan selalu siap membantu. Tetapi di tengah-tengah pujian dan pujian, terkadang mereka menemukan diri mereka terjebak dalam labirin harapan yang tidak realistis.
Dalam upaya untuk mempertahankan citra "gadis baik", perempuan sering kali menahan diri dari mengekspresikan emosi yang nggak nyaman, mengekang keinginan dan kebutuhan pribadi mereka, dan mengorbankan kebahagiaan mereka sendiri demi menyenangkan orang lain. Mereka menemukan diri mereka terjebak dalam spiral tanpa akhir dari pengorbanan diri, bertanya-tanya apakah mereka benar-benar memiliki izin untuk mengungkapkan kelemahan dan keinginan mereka sendiri.
Namun, dalam kerumunan sorotan yang terus berputar, mungkin terdapat cahaya yang lembut yang mengarah pada jalan keluar dari labirin. Mungkin, itu terletak pada keberanian untuk menantang status quo, untuk mempertanyakan ekspektasi yang diletakkan pada mereka, dan untuk menemukan keberanian dalam memilih kebahagiaan mereka sendiri di atas kepuasan orang lain.
Mungkin, kebaikan sejati nggak selalu terletak pada kesediaan untuk menahan diri, tetapi dalam keberanian untuk menjadi unik. Mungkin juga itu adalah ketika perempuan menemukan keberanian untuk mengekspresikan diri mereka sepenuhnya, tanpa takut akan hujan kritik atau angin badai penilaian.
Jadi, dalam panggung kehidupan yang tak terduga ini, mungkin sudah saatnya untuk membebaskan diri dari belenggu ekspektasi dan mengeksplorasi keberanian untuk menjadi diri sendiri. Mungkin, saatnya untuk merangkul kerentanan sebagai kekuatan, dan untuk menemukan bahwa kebaikan sejati nggak ada hubungannya dengan kesempurnaan, tetapi dalam keberanian untuk menjadi diri kita yang sebenarnya.
Sebagai manusia, sejatinya kita memang harus berbuat baik. Tapi kata baik itu relatif dan harus sesuai takaran. Ketika nggak sesuai dengan nuranimu, nggak perlu lagi mengejar gelar sebagai "gadis baik". Setuju, Millens? (Siti Zumrokhatun/E05)