Inibaru.id – Selain Barbie, beberapa minggu terakhir para pencinta film dunia tengah dimanjakan oleh film epik besutan Christopher Nolan, yakni Oppenheimer. Film ini mengundang diskusi panjang karena mengangkat kisah fisikawan teoretis J Robert Oppenheimer kala menciptakan bom atom atau nuklir.
Bagi sebagian masyarakat, bom atom adalah salah satu ciptaan paling menakutkan yang pernah dibuat manusia, terlebih bagi masyarakat Jepang. Pada Perang Dunia II, bom ini pernah meluluhlantakkan dua kota di sana, yakni Hiroshima dan Nagasaki.
Sayangnya, cerita tentang pengeboman dua kota padat penduduk itu nggak ditampilkan dalam film dibintangi para aktor kenamaan seperti Cillian Murphy, Emily Blunt, Matt Damon, dan Florence Pugh tersebut. Nolan mengatakan, Oppenheimer bukan film dokumenter, tapi interpretasi sang fisikawan.
"Ini pertimbangan sudut pandang saja. Oppenheimer bukan dokumenter, tapi sebuah interpretasi; sebuah pembuatan film dengan narasi dramatis," tutur Nolan dikutip dari IndieWire (18/7).
Dampak Bom Atom bagi Jepang
Pada 6 Agustus 1945 pagi, pesawat Enola Gay menjatuhkan sebuah bom atom di pusat kota industri padat penduduk, Hiroshima. Bom yang diyakini memiliki daya ledak setara 15 ribu ton TNT itu mengakibatkan 70 persen bangunan rata dengan tanah. Jepang mengklaim, 320 ribu warga terdampak, 118 ribu jiwa meninggal saat itu juga.
Tiga hari berselang, berjarak 410 kilometer dari Hiroshima, AS kembali menjatuhkan bom atom yang diberi nama “Fat Boy” itu. Bom jatuh ke Nagasaki, mengakibatkan sekitar 74 ribu warga sipil mangkat. Berbagai bangunan dan fasilitas kota juga hancur nggak bersisa.
Nggak berhenti di situ, ledakan bom atom juga mengakibatkan penderitaan jangka panjang bagi mereka, karena paparan radiasinya menimbulkan penyakit kanker, kerusakan jaringan kulit, mutasi genetik, hingga trauma berkepanjangan.
Dampak yang mengerikan, bukan? Nah, karena dianggap menguak sejarah yang menyakitkan bagi Jepang, hingga 21 Juli lalu belum ada kepastian kapan film ini bisa tayang di Negeri Sakura. Hal tersebut juga diungkapkan sendiri oleh Nolan.
3 Film Jepang tentang Bom Atom
Menariknya, meski teror Hiroshima dan Nagasaki dianggap sebagai hal yang sensitif di Jepang, nggak sedikit sineas di sana yang justru membuat film tentang bom atom sebagaimana Christopher Nolan menggarap Oppenheimer. Berikut adalah tiga film Jepang tentang bom atom yang perlu kamu tonton.
Grave of The Fireflies (1988)
Grave of The Fireflies besutan Isao Takahata sering dianggap sebagai salah satu film animasi terbaik sepanjang masa. Berkisah tentang Kota Kobe yang dibom pada Perang Dunia II, alur dan penggambaran yang luar biasa pada film ini bikin banyak orang nggak kuat menonton ulang.
Sedikit informasi, bom yang dijatuhkan di Kobe bukan bom atom bikinan JR Oppenheimer, tapi bom api. Namun, tetap saja serangan bom yang dilancarkan pada 16-17 Maret 1945 ini memunculkan kesedihan mendalam bagi masyarakat Jepang.
In this Corner of the World (2016)
Disutradarai oleh Sunao Katabuchi, film ini menggambarkan kehidupan di Kota Hiroshima dan Kure dalam 10 tahun pada dekade 1930-an dan 1940-an. Meskipun dalam bentuk animasi, film ini sukses menggambarkan perubahan yang terjadi di kota tersebut sebelum dan setelah dihujani bom atom.
Kamu tentu bisa membayangkan gimana pilunya menonton perubahan dua kota ini sebelum dan saat Perang Dunia II berlangsung, hingga kehancuran Hiroshima akibat bom atom dari AS, termasuk kondisinya pasca-perang.
The Postman from Nagasaki
Film yang dirilis pada 2022 lalu ini menceritakan tentang Taniguchi Sumiteru, seorang petugas pos yang selamat dari bom nuklir Nagasaki pada 1945. Saat Fat Boy dijatuhkan, usia Taniguchi masih remaja. Dia baru menginjak usia 16 tahun.
Ketika peristiwa itu berlangsung, dia tengah menjalankan pekerjaannya. Dia menaiki sepeda yang berjarak hanya sekitar dua kilometer dari pusat ledakan. Bisakah kamu bayangkan gimana rasanya?
Nah, buat kamu yang sudah nonton Oppenheimer, coba bayangkan film tersebut dengan ketiga film Jepang ini ya. Untuk yang belum nonton, ketiga film itu juga tetap bisa jadi referensi yang diperlukan, kok! (Arie Widodo/E03)