Inibaru.id - Bayangkan sebuah baterai raksasa yang tidak butuh tambang nikel atau lithium, tapi justru "menelan" udara untuk menyimpan listrik. Terdengar seperti fiksi ilmiah? Nggak lagi, karena Google baru saja menggandeng startup asal Italia, Energy Dome, untuk mewujudkan teknologi baterai karbon dioksida (CO2) ini!
Langkah ini diambil raksasa teknologi tersebut untuk menyuplai energi di berbagai data center mereka yang tersebar di Eropa, AS, hingga Asia Pasifik. Yuk, kita intip bagaimana cara kerja teknologi yang digadang-gadang bakal jadi masa depan energi hijau ini!
Cara kerjanya cukup sederhana. Jadi, Energy Dome membangun sebuah kubah raksasa berisi gas. Saat ada kelebihan energi dari pembangkit listrik tenaga surya atau angin, energi tersebut digunakan untuk mengompres gas hingga menjadi cair. Proses "mengisi daya" ini memakan waktu sekitar 10 jam.
Nah, saat listrik dibutuhkan (misalnya saat matahari terbenam atau angin tenang), cairan tadi dihangatkan kembali hingga berubah jadi uap panas yang kuat untuk memutar turbin dan menghasilkan listrik. Satu fasilitas ini diklaim bisa menyimpan energi hingga 200 MWh, cukup untuk menerangi 6.000 rumah!
Kenapa Google Kepincut?
Ada beberapa alasan kuat mengapa teknologi "baterai udara" ini jadi primadona baru:
Bebas Konflik Mineral
Berbeda dengan baterai smartphone atau mobil listrik kita, teknologi ini nggak butuh lithium atau nikel yang penambangannya sering memicu isu lingkungan dan sosial.
Sistem Plug and Play
Pihak Google menyebut teknologi ini sangat terstandarisasi. Artinya, bisa dipasang di mana saja selama ada jaringan listrik dan sumber energi terbarukan.
Solusi Energi yang "Mood-nya" Naik-Turun
Masalah utama energi terbarukan adalah sifatnya yang nggak stabil (kadang panas banget, kadang mendung). Baterai ini jadi "tabungan" energi agar pasokan listrik tetap stabil 24 jam.
Ada Risikonya Nggak?
Meski terlihat sempurna, teknologi ini punya tantangan tersendiri. Baterai punya potensi emisi yang lebih besar dibanding lithium. Yang paling ditakutkan adalah jika terjadi kebocoran pada kubahnya; alih-alih menyelamatkan bumi, kebocoran gas justru bisa memperparah polusi atmosfer.
Saat ini, prototipe raksasanya sedang dibangun di lahan seluas 5 hektare di Sardinia, Italia. Kalau proyek ini sukses, siap-siap saja melihat kubah-kubah energi ini bermunculan di berbagai belahan dunia!
Wah, keren banget ya kalau nanti data center di Indonesia juga pakai teknologi ini. Menurutmu, teknologi ini aman nggak sih buat lingkungan kalau skalanya makin besar? (Siti Zumrokhatun/E05)
