Inibaru.id - Maraknya alih fungsi lahan pertanian jadi permukiman dan industri membuat banyak desa kehilangan identitasnya sebagai sentra pangan. Kekhawatiran inilah yang disampaikan Ketua DPRD Jateng, Sumanto, saat bersilaturahmi dengan ratusan petani di Desa Jetis, Kecamatan Jaten, Karanganyar, belum lama ini. Menurutnya, jika lahan makin menyusut, ancaman krisis pangan bukan lagi wacana, tapi tinggal menunggu waktu saja.
Sumanto, yang sudah bertahun-tahun terjun mengadvokasi persoalan pangan, menyebut masa depan bertani justru semakin cerah. Harga komoditas pangan, termasuk gabah dan berbagai jenis sayuran, terus naik dari tahun ke tahun. “Dulu saat harga gabah Rp4.000 per kilogram saja panjenengan masih garap sawah. Sekarang sudah Rp7.000 harusnya lebih semangat,” ujarnya.
Dia bahkan menjelaskan bahwa dengan kondisi saat ini, sekali panen petani bisa mengantongi sekitar Rp16 juta. Modal yang dikeluarkan mulai bibit hingga pupuk diperkirakan hanya sekitar Rp5 juta. Selisih itu menunjukkan bertani kini lebih menguntungkan dibandingkan beberapa tahun lalu.
Karena itu, dia sangat menekankan satu pesan agar petani jangan jual sawah. Bukan hanya karena lahan kian langka, tapi juga karena banyak petani kesulitan mencari pekerjaan alternatif setelah tak lagi mengolah tanah. Belum lagi, sebagian besar lahan pertanian di desa diwariskan dari orang tua. “Kalau bisa jangan dijual, kalau perlu beli sawah lagi. Nanti diwariskan ke anaknya. Jangan semuanya disuruh jadi pegawai,” tegasnya.
Sumanto juga memaparkan tantangan lain yaitu mayoritas petani di Jawa Tengah hanya memiliki lahan di bawah 500 m2. Kondisi itu jauh berbeda dengan petani di Jawa Barat dan Jawa Timur yang rata-rata lahannya lebih luas. Minimnya lahan turut menjadi penyebab tingginya angka kemiskinan ekstrem di Jateng.
“Kalau mau tetap jadi lumbung pangan nasional, harus ada langkah baru untuk menyelesaikan masalah pertanian,” tambahnya.
Sementara itu, Kepala Desa Jetis, Nur Wibowo, mengatakan bahwa hasil panen padi di wilayahnya akhir-akhir ini cukup bagus, terlebih memasuki musim hujan. Ditambah dengan harga beras yang sedang tinggi, para petani mulai merasakan dampaknya terhadap meningkatnya kesejahteraan.
“Semoga tren ini bisa memberi semangat baru bagi petani untuk tetap bertahan dan mengembangkan pertaniannya,” ujarnya.
Di tengah arus industrialisasi dan gaya hidup modern, Desa Jetis memilih berdiri tegak mempertahankan sawah-sawahnya. Dan ajakan Sumanto agar tidak menjual bahkan membeli lagi bukan sekadar nasihat, tapi peringatan bahwa masa depan pangan sangat bergantung pada keputusan hari ini. (Ike P/E01)
