Inibaru.id – Kendati bukan gerakan politik, kongres yang diakhiri Reuni Akbar 212 pada 2 Desember lalu dinilai sebagian kalangan sarat muatan politis. Kapolri Jenderal Tito Karnavian bahkan menuding ada tendensi untuk Pilkada Serentak 2018 dan Pilpres 2019 pada penyelenggaraan ini.
"Sudahlah, ini pasti larinya ke arah politik 2018-2019," kata Tito, dikutip dari Liputan6.com (30/11/2017).
Meski demikian, Tito mengaku tidak melarang pelaksanaan acara tersebut. Kala itu dirinya hanya menyarankan agar Reuni 212 dilakukan di Masjid Istiqlal saja, bukan di Monumen Nasional (Monas) Jakarta.
Komentar miring juga sempat dilontarkan Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto terkait reuni yang akhirnya tetap digelar di Monas ini. Wiranto menyebutkan, Aksi 212 dan sejumlah aksi lain merupakan gerakan spontanitas.
“Tujuan aksi itu kan menuntut hukuman untuk Ahok (mantan Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama) terkait kasus dugaan penistaan agama,” terangnya.
Baca juga:
Benarkah Peserta Aksi Reuni 212 Capai 7,5 Juta Orang?
Titiek Soeharto Berada di Antara Massa Aksi Reuni 212
Sebagai informasi, Ahok saat ini telah menerima vonis hukuman terkait kasus tersebut dan sedang menjalani hukuman di penjara.
"Kalau aksi 212 dan 411 kan gerakan situasional. Sekarang sudah selesai karena (Ahok) sudah di tahanan, masuk ke penjara. Lalu apalagi?" jelasnya.
Namun, tetap saja reuni yang diselenggarakan Presidium Alumni 212 itu digelar pada Sabtu lalu. Lokasi penyelenggaraannya pun tetap di Monas sebagaimana direncanakan. Reuni diisi dengan peringatan Maulid Nabi Muhammad saw.
Sebelum reuni di Monas, diadakan pula Kongres Nasional Alumni 212 di Asrama Haji Pondok Gede. Ketua Kongres Nasional Alumni 212, Bernard Abdul Jabbar mengatakan, kongres akan menyikapi kondisi politik, sosial, hukum, dan berbagai perkembangan terakhir di Indonesia.
Sementara, Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon yang turut hadir dalam perhelatan tersebut membantah bahwa Reuni 212 merupakan bentuk politisasi. Dilansir dari Detik.com, Sabtu (2/12), Waketum Gerindra itu menilai acara yang dimulai dengan salat subuh berjamaah itu semata kegiatan keagamaan yang bagus.
Baca juga:
Mereka Berbagi dalam Aksi Reuni 212
Berebut Berkah dalam Kirab Ancak Agung
"Kalau mau dibawa nilai sendiri saja, nggak ada dugaan sangkaan politisasi. Saya kira itu kurang cerdas saja menangkapnya," tuturnya.
Namun, dia tidak membantah keberadaan kegiatan itu yang bermuatan politik karena politik dan keagamaan tidak bisa dipisahkan. Keduanya saling menyatu.
"Ya, namanya kita hidup masak dipisahkan antara politik, ekonomi, keagamaan, kebudayaan. Semua kan menyatu," ungkap Fadli.
Bagaimana Anda menyikapinya? (OS/SA)