Inibaru.id - Pertanyaan mengapa korban kekerasan seksual sering kali nggak mampu melawan atau berteriak saat dilecehkan menjadi topik yang sering dipertanyakan.
Sayangnya, pertanyaan ini kerap digunakan untuk meragukan kredibilitas korban, seolah-olah ketidakmampuan untuk bereaksi dianggap sebagai tanda persetujuan. Bahkan, jika pelaku memiliki keterbatasan fisik, masyarakat cenderung meragukan kebenaran cerita korban dengan alasan "nggak masuk akal."
Pemahaman ini sangat disayangkan dan menunjukkan kurangnya empati serta pengetahuan masyarakat tentang respons psikologis manusia dalam situasi kekerasan. Pada kenyataannya, ketidakmampuan korban untuk melawan atau berteriak bukanlah hal yang aneh.
Hal ini bisa dijelaskan melalui konsep respons trauma, yang terdiri dari tiga reaksi utama: fight (melawan), flight (melarikan diri), dan freeze (membeku).
Respons "Freeze" pada Trauma
Ketika seseorang berada dalam situasi yang mengancam, otak secara otomatis memutuskan bagaimana merespons bahaya tersebut. Respons "freeze" sering kali terjadi pada korban kekerasan seksual, terutama jika mereka merasa melawan atau melarikan diri nggak mungkin dilakukan.
Dalam kondisi ini, korban merasa tubuhnya seolah-olah lumpuh, nggak mampu bergerak, atau mengeluarkan suara, meskipun mereka sadar sepenuhnya akan apa yang sedang terjadi.
Respons ini adalah mekanisme biologis yang dirancang untuk melindungi tubuh dari ancaman lebih lanjut. Namun, masyarakat yang kurang memahami fenomena ini cenderung melihat diamnya korban sebagai tanda penerimaan, bukan sebagai bentuk respons trauma.
Ketika pelaku memiliki keterbatasan fisik, masyarakat sering kali menggunakan hal ini untuk meragukan kesaksian korban. Padahal, kekerasan seksual nggak selalu bergantung pada kekuatan fisik semata. Pelaku dapat menggunakan intimidasi, manipulasi, atau bahkan kondisi lingkungan untuk membuat korban merasa nggak berdaya. Selain itu, kekerasan seksual adalah kejahatan yang didorong oleh keinginan untuk mendominasi, bukan sekadar masalah fisik.
Berhenti Menyalahkan Korban
Stigma yang meragukan korban justru membuat mereka enggan melaporkan kasus yang dialami. Bukannya mendapat dukungan, korban sering kali menghadapi tekanan sosial yang membuat trauma mereka semakin mendalam. Padahal, tugas masyarakat adalah berpihak pada korban dengan memberikan dukungan moral dan memperjuangkan keadilan.
Ketimbang fokus pada kondisi pelaku, penting bagi masyarakat untuk memahami bahwa tindakan kekerasan seksual adalah kejahatan yang nggak bisa dibenarkan dalam kondisi apa pun. Dengan memberikan empati kepada korban dan mengedukasi diri mengenai trauma, kita bisa membantu menciptakan lingkungan yang lebih aman dan adil bagi semua orang.
Mari berhenti mempertanyakan mengapa korban nggak melawan. Sebaliknya, mulailah bertanya: apa yang bisa kita lakukan untuk mendukung mereka dan mencegah hal ini terjadi lagi? (Siti Zumrokhatun/E05)
