Inibaru.id - Awan gelap agaknya masih enggan beranjak dari dunia sepak bola Indonesia. Setelah Tragedi Kanjuruhan dan tersingkir dari Piala AFF 2022, belakangan tersiar kabar bahwa ajang sepak bola Liga 2 dan Liga 3 dihentikan.
PSSI menyebut, ada tiga faktor yang membuat kompetisi kasta kedua dan ketiga ini nggak dilanjutkan. Pertama, karena ada permintaan dari sebagian besar klub Liga 2 lantaran nggak ada titik temu antara klub dengan operator terkait konsep pelaksanaannya.
Keputusan juga diambil berdasarkan rekomendasi tim satgas Transformasi Sepak Bola Indonesia yang menyatakan sarana dan prasarana sebagian klub Liga 2 dan 3 masih di bawah standar. Alasan terakhir adalah terkait perizinan pengamanan pertandingan yang mengacu pada Perpol No 10 tahun 2022.
Absennya Liga 2-3 dalam struktur kompetisi sepak bola Tanah Air otomatis membuat Liga 1 yang merupakan kasta tertinggi bergulir tanpa adanya degradasi. Perlu kamu tahu, degradasi adalah semacam "hukuman" bagi tim penghuni papan bawah pada akhir kompetisi.
Namun, lebih dari semua itu, keputusan sepihak Exco PSSI tersebut tentu saja akan berdampak serius bagi nasib pemain, pelatih, manajemen, bahkan rupa persepakbolaan Tanah Air sendiri. Pengamat sepak bola Ronald Seger Prabowo mengatakan, menghentikan Liga 2-3 adalah bencana.
"Ini adalah bencana dan pukulan keras untuk orang-orang yang menggantungkan hidupnya di dunia sepak bola," ujar lelaki yang akrab disapa Seger itu kepada Inibaru.id, belum lama ini. "Bursa transfer memang masih berjalan, tapi tidak semua pemain Liga 2 dilirik. Ini buruk!"
Kurang Bijak
Seger dengan tegas mengatakan, menghentikan Liga 2-3 adalah keputusan yang kurang bijak, terlebih animo masyarakat untuk menonton sepak bola sedang sangat tinggi, mengingat kita baru saja keluar dari jerat pandemi Covid-19.
"Manajemen tentu mengalami kerugian sangat besar karena sebetulnya nggak sedikit klub Liga 2 yang jor-joran untuk persiapan kompetisi. Secara materi, jelas mereka bakal rugi besar," ucap lelaki yang saat ini menjabat sebagai Ketua Seksi Wartawan Olahraga (Siwo) PWI Surakarta tersebut.
Kendati nggak menampik bahwa sarana dan prasana sebagian klub Liga 2 masih jauh dari kata layak, Seger merasa bahwa keputusan menghentikan kompetisi nggak seharusnya dilakukan karena lebih banyak dampak negatifnya.
"Ada opsi Liga 2 digelar terpusat. Peserta Liga 2 nggak keberatan asal biaya operasional pertandingan ditanggung PT LIB selaku operator liga, sementara akomodasi seperti hotel dan lain-lain saya dengar siap mereka tanggung sendiri," tutur Seger.
Bukan Kali Pertama
Sistem kompetisi tanpa degradasi ke Liga 2 atau Liga 3 seperti sekarang memang bukan kali pertama ini saja terjadi. Seger menjelaskan, musim 2011-2012 sepak bola Indonesia hanya mengenal liga tanpa degradasi. Kala itu ada dua kompetisi, yakni Indonesia Super League dan Liga Primer Indonesia.
Namun begitu, dia menegaskan, kompetisi tanpa degradasi berpotensi besar memunculkan praktik pengaturan skor. Tim-tim yang nggak punya ambisi juara akan main mata, sebab kalah pun mereka nggak bakal dihukum turun kasta.
"Muruah kompetisi juga hilang, karena roller kompetisi kan ada juara, promosi, dan degradasi. Terus, animo penonton ke stadion pun dijamin bakal turun; mau nonton kayak nggak ada gregetnya lagi," gerutu Seger.
Tanpa tedeng aling-aling, Seger berharap Exco PSSI merevisi keputusannya dan memikirkan lagi kemungkinan melanjutkan Liga 2-3 dengan sistem terpusat.
"Kalau PT LIB nggak punya dana ya gerak, cari sponsor. Itu kan sudah tugas mereka. Bisalah! Kawan-kawan dari Liga 2 punya semangat gotong-royong agar kompetisi tetap jalan, kok!" tandasnya.
Banyak orang di Tanah Air yang menggantungkan hidupnya dari bergulirnya si kulit bundar di lapangan. Hm, atau sebaiknya kita memang harus mulai berpikir untuk nggak bergantung pada profesi itu lagi, ya? (Fitroh Nurikhsan/E03)