Inibaru.id - Jawa Tengah selama ini dikenal sebagai salah satu lumbung pangan nasional. Namun, ancaman perlahan datang dari perubahan fungsi lahan pertanian yang terus terjadi tiap tahun. Jika tak segera dikendalikan, Jawa Tengah bisa kehilangan salah satu kekuatannya yaitu produksi pangan yang menopang jutaan rakyat.
Ketua DPRD Jawa Tengah Sumanto mengungkapkan fakta yang nggak bisa diabaikan. Setiap tahun, luas lahan pertanian di provinsi ini menyusut sekitar 2 hingga 3 persen. Sebagian berubah menjadi kawasan permukiman, pabrik-pabrik industri, hingga pembangunan infrastruktur seperti jalan tol.
“Kami di provinsi sudah membuat Perda RTRW. Saya berharap Bupati dan Wali Kota selektif saat mengeluarkan izin pembangunan. Petani mau tanam padi butuh tanah,” tegas Sumanto dalam Program Aspirasi Jateng bertema Upaya Jawa Tengah Wujudkan Ketahanan Pangan di Studio TATV Solo, belum lama ini.
Sumanto menambahkan, Jawa Tengah saat ini berada di posisi kedua sebagai penyumbang pangan nasional setelah Jawa Timur. Posisi ini harus dijaga. Pasalnya, membuka lahan pertanian baru bukan perkara mudah. “Program food estate saja prosesnya panjang. Nggak bisa instan,” katanya.
Bagi politisi PDI Perjuangan itu, penyusutan lahan pertanian bukan sekadar angka. Ada risiko besar mengintai. “Kalau tren ini terus berlanjut tanpa mitigasi yang efektif, ketahanan pangan bisa terancam. Ke depan anak cucu kita mau makan apa?” ujarnya mengingatkan.
Menurutnya, dokumen pembangunan daerah seperti RPJMD dan RPJPD sudah menegaskan bahwa Jawa Tengah adalah penopang sektor pangan nasional. Artinya, menjaga keberlanjutan lahan pertanian sama saja dengan memastikan ekonomi rakyat tetap tumbuh. “Kalau sektor pangan naik signifikan, dampaknya akan langsung dirasakan masyarakat,” tambahnya.
Konsumsi Ikan Rendah, Potensi Belum Maksimal
Dalam kesempatan yang sama, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Jateng, Endi Faiz Effendi, mengingatkan bahwa tantangan ketahanan pangan bukan hanya soal beras. Populasi global diperkirakan naik 33 persen dalam 25 tahun ke depan. Kebutuhan protein? Bisa melesat hingga 70 persen!
Nah, sektor perikanan jadi salah satu harapan. Endi mencontohkan, kandungan protein pada ikan tergolong tinggi — 1 gram ikan mengandung 0,22 gram protein, lebih banyak dari telur. Belum lagi adanya omega-3 yang penting untuk kesehatan otak.
Namun, kenyataannya masih ironi. Konsumsi ikan masyarakat Jawa Tengah hanya 41,14 kg per orang per tahun. Jauh di bawah rata-rata nasional yang mencapai 54,14 kg. Peringkatnya pun kedua terendah di Indonesia, hanya sedikit lebih baik dari DIY.
Masalahnya klasik. Harga ikan mahal, persepsi masyarakat pun negatif. “Karena rantai distribusi panjang, harga ikan naik. Lalu muncul mitos makan ikan bikin cacingan, terutama di daerah pedalaman,” jelas Endi.
Ancaman pangan di Jateng bukan sekadar wacana. Penyusutan lahan dan rendahnya konsumsi protein menunjukkan PR besar yang harus diselesaikan bersama. Pemerintah, pelaku usaha, hingga masyarakat harus memperhatikan lagi apa yang akan kita makan di masa depan. (Ike P/E01)
