Inibaru.id - Demonstrasi besar-besaran di Indonesia yang berujung konflik antara massa aksi dengan aparat sejak 25 Agustus dan belum berangsur kondusif hingga saat ini memunculkan satu temuan baru. Pemerintah berasumsi, live streaming di Tiktok sangat rentan ditunggangi kepentingan.
Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi) Meutya Hafid mengungkap, aliran dana dalam jumlah besar terpantau mengalir melalui platform digital selama aksi massa yang dilakukan dalam beberapa hari terakhir. Kuat dugaan, aliran dana itu digunakan untuk mendanai aktivitas provokatif selama demo.
Meutya menyebutkan, lonjakan laporan masyarakat yang masuk ke Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) menggambarkan betapa derasnya arus konten provokatif di dunia maya.
“Indikasi awal menunjukkan adanya upaya terkoordinasi untuk memanfaatkan media sosial sebagai sarana provokasi,” ungkap Meutya melalui akun Instagram resminya, Senin (1/9/2025).
Monetisasi Kekacauan via Live Streaming
Alih-alih menjadi ruang komunikasi produktif, Meutya menilai, media sosial justru kian rentan diperalat untuk menyebarkan ujaran kebencian, provokasi, hingga seruan penjarahan. Yang mengejutkan, praktik monetisasi justru muncul lewat fitur live streaming.
Meski saat ini fitur live streaming sejumlah medsos seperti Tiktok sudah dinonaktifkan, beberapa akun sempat terpantau menayangkan aksi kekerasan secara maraton dan menerima donasi digital serta gifts dalam jumlah besar.
“Sejak beberapa hari terakhir, kami juga memantau adanya aliran dana ini. Konten kekerasan dan anarkisme disiarkan secara langsung (live streaming) dan dimonetisasi lewat fitur donasi; beberapa akun yang terlibat terhubung dengan jaringan judi online,” jelas Meutya.
Pola ini membuat pemerintah meyakini bahwa aksi provokasi di media sosial bukanlah fenomena spontan, melainkan gerakan terorganisir dengan insentif finansial nyata.
Bukan Cerita Pertama
Komersialisasi konflik bukanlah kata baru. Fenomena ini terjadi sudah sangat lama, bahkan jauh sebelum medsos menjadi platform yang dipakai sebagaian besar orang seperti sekarang ini. Namun, ia kian kentara di era digital sekarang karena jangkauannya bisa jauh lebih luas.
Kamu mungkin masih ingat bagaimana sebagian warganet memonetisasi serangan Hamas kepada Israel pada 7 Oktober 2023 lalu. Terlepas bahwa konflik ini kini berubah menjadi genosida yang menewaskan banyak sekali warga Palestina, saat itu ada sejumlah kreator Tiktok yang melakukan “live matches” serangan itu.
Mereka melakukan role play; satu kreator berperan sebagai pihak Israel, sedangkan lainnya Palestina; padahal mereka nggak benar-benar memiliki hubungan langsung dengan keduanya. Kedua kreator terus mendorong para pengikutnya untuk mengirimkan hadiah virtual. Yang terbanyak selama lima menit adalah pemenangnya.
Dikutip dari Wired (26/10/2023) keduanya live selama berjam-jam untuk meraup keuntungan besar dari tragedi kemanusiaan yang sejatinya sama sekali nggak mereka pedulikan. Hal serupa juga terjadi pada konflik India-Pakistan belum lama ini, bahkan pada penyerbuan Gedung Capitol di AS pada 2021 lalu.
Masyarakat Harus Waspada
Dengan sudut pandang yang berbeda, upaya memonetisasi konflik juga dilakukan di Indonesia. Untuk alasan inilah Meutya mengimbau masyarakat agar lebih berhati-hati. Menurutnya, ada yang tengah memanfaatkan ruang digital untuk menggerakkan massa sekaligus mengubah kekacauan menjadi sumber keuntungan pribadi.
"Jangan terpancing provokasi atau ikut menyebarkan informasi yang belum terverifikasi," tegasnya.
Sementara itu, founder Indonesia Cyber Security Forum Ardi Sutedja memastikan bahwa fenomena ini termasuk monetisasi konflik sosial. Hal ini berbahaya karena berpotensi merusak integritas gerakan sosial. Ketika aliran dana mendominasi, motivasi finansial bisa menggantikan aspirasi murni.
"Kepolisian telah melakukan pemantauan khusus terhadap live streaming selama demonstrasi, dan menemukan banyak akun yang secara sadar mengejar keuntungan lewat donasi," ujarnya.
Merujuk pada istilah bad news is a good news, meski mati-matian ditutupi, pada dasarnya manusia suka melihat konflik, baik di ranah individu maupun kelompok. Setali tiga uang, konten tentang konflik di ruang digital juga selalu punya pasar, membuatnya begitu rentan untuk dikomersialisasi. (Siti Khatijah/E10)
