Inibaru.id – Di balik kemegahan Kasunanan Surakarta pada pertengahan abad ke-19, tersimpan kisah inspiratif tentang seorang abdi dalem muda bernama Kadjo yang dikirim melintasi benua untuk belajar membuat arloji.
Semua bermula dari keluhan seorang penyewa tanah partikelir berkebangsaan Belgia di Surakarta, C. Coenaes. Coenaes mengeluh kepada Susuhunan Pakubuwono VIII lantaran keahlian tukang keraton yang dianggap kurang mumpuni dalam memperbaiki lonceng dan arloji miliknya.
“Dan penanganan atas barang-barang emasnya pun buruk sekali,” kata Coenaes, sebagaimana dicatat Harry A. Poeze dalam Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950.
Coenaes lantas mengusulkan agar Sunan mengirim salah satu tukangnya ke Eropa untuk dididik sebagai ahli arloji profesional.
Dari Surakarta ke Brussel Penuh Badai
Gayung bersambut! Sunan Pakubwono VIII menyambut usulan tersebut dan memilih Kadjo, seorang abdi dalem muda berusia 21 tahun yang merupakan anak seorang perwira rendah pasukan kavaleri.
Pada Juni 1856, Kadjo pun berangkat ke Brussel, Belgia, bersama keluarga Coenaes. Pilihan Sunan ternyata tidak meleset.
Dalam perjalanan laut selama 23 hari yang penuh badai, Kadjo sudah menunjukkan keuletan dan loyalitasnya, dengan setia menemani Nyonya Coenaes dan anak-anaknya. Setibanya di Brussel, Kadjo harus belajar bahasa Prancis terlebih dahulu sebelum mendalami ilmu pembuatan arloji.
Berkat kerajinannya, Kadjo menjadi murid yang sangat menonjol. Dia cepat menyerap pelajaran membuat arloji.
“Baru satu tahun dia sudah amat maju, sehingga dapat mengikuti pelajaran pembuat arloji Heckmann dan mengikuti pelajaran di Akademi Seni Menggambar untuk memahirkan diri dalam seni menggambar ornamen,” tulis Poeze mengutip Historia (19/2/2017).
Kemampuan Kadjo bahkan melampaui murid-murid Tuan Heckmann yang lebih senior. Puncaknya, pada Oktober 1859, Kadjo berhasil memenangi penghargaan pertama dalam seni gambar ornamen kelas dua di Akademi Seni Menggambar.
Coenaes sendiri bangga bukan main. “Saya bisa katakan bahwa saya telah berhasil menjadikan orang Jawa ini seorang seniman sejati.”
Arloji Aksara Jawa untuk Sang Sunan
Setelah mahir, Kadjo merancang dan membuat arloji khusus sebagai hadiah persembahan bagi Susuhunan Surakarta. Karya itu diberi nama “duplex a balancier compensateur dengan sepuluh batu”.
Secara eksklusif, Kadjo merancang arloji itu dengan menggunakan aksara Jawa pada angka-angka penunjuk waktunya. Di lempeng arloji tersebut, ia membubuhkan prasasti yang berbunyi:
“Kadjo, habdi dalem ponokawan djam hing Soerokarto moeridipoen toewan Higman Brussel”
Prasasti itu berarti: “Kadjo, abdi dalem pelayan jam di Surakarta, murid Tuan Heckmann di Brussel”.
Karya agungnya itu bahkan sempat dipamerkan kepada Van Wielik, pembuat arloji Baginda Ratu Belanda, dan Menteri Daerah Jajahan Rochussen, yang semuanya sangat terkesan dengan hasil kerajinan Kadjo.
Menarik ya kisah Kadjo ini, Gez. (Siti Zumrokhatun/E05)
