Inibaru.id - Dalam data sensus Korea Selatan, terlihat semakin banyak anak muda di sana yang berada dalam kondisi memilih untuk menganggur sementara atau istilah kerennya "just resting". Bukan karena lapangan pekerjaan semakin sulit, anak-anak muda Korea Selatan melakukannya justru karena merasa lelah.
Istilah "just resting" merujuk pada anak muda usia produktif yang tidak sedang bekerja, sekolah, ataupun aktif mencari pekerjaan. Per Juli 2025 ini, jumlah pemuda usia 20-an dalam kategori ini mencapai 421.000 orang alias jadi rekor tertinggi sepanjang masa.
Park Min-jin (nama samaran), 26 tahun, adalah salah satunya. Setelah bertahun-tahun mengejar nilai sempurna, kampus ternama, berbagai jenis sertifikat, dan pengalaman internasional, ia tetap gagal mendapatkan pekerjaan tetap. Padahal ia sudah melamar ke puluhan lembaga keuangan.
"Aku berhenti karena burnout. Rasanya habis tenaga,” ucapnya sebagaimana dinukil dari Koreaherald, Minggu (7/9/2025).
Fenomena ini bukan soal malas atau tidak mau bekerja. Layaknya Min-jin, banyak yang memilih berhenti sementara bukan karena keinginan, melainkan karena kelelahan setelah bertahun-tahun ditekan sistem yang menuntut tanpa henti.
“Kami dibesarkan dengan janji sekolah yang bagus akan membawa ke kehidupan yang bagus. Tapi nyatanya, hidup terasa semakin sulit,” ujar Lee Joo-ho (32) yang sempat mengirim lebih dari 30 lamaran pekerjaan tanpa hasil.
Label kampus dan perusahaan pertama di Korea sering kali melekat seumur hidup. Maka tak heran jika banyak lulusan tak ingin asal bekerja di perusahaan kecil dengan gaji dan tunjangan yang jauh di bawah perusahaan besar. Karena nggak kunjung mendapatkan hal ini, mereka yang kelelahan akhirnya memilih untuk beristirahat.
Namun, bukan berarti dengan beristirahat mereka akhirnya bisa kembali menikmati hidup. Di balik “istirahat” itu, kecemasan justru tumbuh semakin besar. Banyak yang merasa gagal, malu, dan tertekan oleh pencapaian teman sebayanya.
“Aku ingin mencari tahu apa yang benar-benar aku suka,” kata Kim Jin-sol yang akhirnya berhenti jadi perawat karena merasa kehilangan arah. Saat “istirahat,” ia mencoba hal-hal baru seperti membuat video, menulis esai, bahkan membuka kanal YouTube meski belum membuatnya merasa tenang menjalani kehidupan.
Baca Juga:
Kala Otoritas Korea Selatan Semakin Khawatir dengan Meningkatnya Kasus Bunuh Diri di Usia RemajaKalau menurut para ahli di negara setempat, fenomena ini bukan kesalahan individu, melainkan cerminan tekanan struktural yang bahkan dimulai dari anak-anak seperti ranking sekolah, status universitas, hingga reputasi tempat kerja. Semuanya membentuk hierarki sosial yang terus membandingkan anak muda satu sama lain.
“Rehat ini bukan kemewahan, tapi cara bertahan hidup,” kata Kim Seon-hee dari lembaga Education for Spring. Ia menyebut terlalu banyak anak muda yang tersesat dalam sistem kompetitif tanpa ruang untuk mengenal diri sendiri.
Menyebut mereka “sekadar istirahat” jelas mengecilkan perjuangan yang sebenarnya. Mungkin, saatnya kita melihat mereka bukan sebagai pemalas, melainkan sebagai generasi yang sedang mencari napas di tengah tekanan hidup yang tak memberi ruang untuk jeda.
Lantas, bagaimana dengan generasi muda di Indonesia yang hidupnya lebih keras? Kalau kamu Gez? Apakah juga pengin beristirahat untuk sementara? (Arie Widodo/E07)
