Inibaru.id – Karena kita tinggal di Indonesia, sepanjang tahun kita bisa menikmati sinar matahari yang melimpah. Beda cerita kalau kamu tinggal di Utqiagvik, Alaska. Kota mungil di ujung utara Amerika Utara itu baru saja menyaksikan matahari terbenam untuk terakhir kalinya tahun ini pada Selasa (18/11/2025). Setelah momen itu, mereka bakal “puasa matahari” selama kira-kira 65 hari. Yap, dua bulan lebih tanpa matahari!
Utqiagvik, yang dulu dikenal sebagai Barrow, berada sekitar 450 kilometer di utara Lingkar Arktik. Letaknya yang ekstrem membuat kota ini mengalami fenomena tahunan bernama polar night yang bikin matahari nggak bersinar selama lebih dari 2 bulan.
Bukan karena cuacanya buruk atau mendung berkepanjangan, hal ini terjadi murni akibat bergesernya kemiringan Bumi sekitar 23,5 derajat. Selama bulan-bulan musim dingin, bagian utara Bumi miring menjauh dari Matahari sehingga sang surya tetap berada di bawah garis horizon dari wilayah tersebut sepanjang hari.
Tapi jangan bayangkan suasananya gelap gulita seperti tengah malam. Warga masih kebagian sedikit cahaya berupa senja tipis di dekat cakrawala selatan. Terkadang, langit juga dihiasi aurora yang membuat pemandangan malam di tempat ini jauh lebih dramatis daripada yang bisa kita lihat di kota-kota besar di wilayah lain.
Meski begitu, hidup tanpa Matahari selama berbulan-bulan tentu bukan perkara mudah. Suhu bisa turun sangat jauh di bawah nol derajat Celcius. Siklus tidur pun sering berubah karena tubuh kehilangan patokan alami antara siang dan malam.
Tak sedikit warga yang mengalami Seasonal Affective Disorder (SAD), kondisi mirip depresi yang dipicu kurangnya paparan cahaya alami. Makanya, terapi cahaya, lampu-lampu khusus, hingga suplemen vitamin D jadi barang laris manis di sana.
Menariknya, meski gelap panjang menghampiri, kehidupan di Utqiagvik tetap berjalan normal. Sekolah tetap buka, toko tetap ramai, dan warga tetap menjalankan rutinitas sehari-hari. Dalam banyak hal, mereka sudah sangat terbiasa dengan musim ekstrem ini. Makanya, ketika Matahari akhirnya kembali sekitar 22 Januari nanti, ada tradisi kecil untuk merayakan “kembalinya cahaya”. Seakan-akan jadi pengingat bahwa gelap yang panjang selalu diikuti harapan baru.
Yang seru, begitu musim semi lewat, kondisi berbalik total. Mulai pertengahan Mei hingga awal Agustus, Matahari di Utqiagvik justru tak pernah terbenam. Jadi kalau sekarang mereka harus beradaptasi dengan gelap, beberapa bulan lagi mereka harus berhadapan dengan “siang tanpa akhir” meski tentu saja suhu panasnya nggak yang menyengat seperti di Indonesia.
Untuk saat ini, Utqiagvik resmi masuk mode malam panjang. Bagi kita yang tinggal di daerah tropis, fenomena ini jadi pengingat akan betapa uniknya kehidupan di belahan dunia lain. Bumi memang satu, tapi caranya menghadirkan siang dan malam ternyata bisa sangat berbeda, ya Gez? (Arie Widodo/E07)
