Inibaru.id - Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 semakin dekat. Beberapa partai sudah mulai spill tokoh calon presiden yang bakal diusung. Masyarakat juga semakin mempunyai gambaran tentang sosok calon presiden idamannya.
Derasnya arus informasi terkait Pemilu 2024 juga semakin banyak kan, Millens? Tapi sadarilah sebagian dari itu merupakan kabar hoaks, artikel provokatif, bahkan ada yang bermotif kampanye hitam.
Oleh karena itu, anggota Dewan Pers A Sapto Anggoro mengingatkan agar wartawan dan media menjaga netralitas pemberitaan dalam menghadapi Pemilu 2024 mendatang. Hal itu disampaikan pada acara penutupan uji kompetensi wartawan/jurnalis (UKW/UKJ) di Sidoarjo, Jawa Timur, Minggu (16/10/2022).
Dia mengutarakan, banyak media yang dikuasai pemodal yang juga aktif di politik. Wartawan profesional dan berkompeten harus bisa bersikap netral dalam menjalankan profesinya. Wartawan hendaknya bisa menyaring dan memilah informasi mana yang sebaiknya disampaikan ke publik dengan tetap menjaga netralitas.
Sikap netral dalam pemberitaan pemilu, menurut Sapto, sesuai dengan Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Pasal 1 KEJ menyatakan, wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.
Penafsiran kata "berimbang" berarti semua pihak mendapat kesempatan setara. "Tidak beritikad buruk" berarti nggak ada niat secara sengaja dan semata-mata untuk menimbulkan kerugian pada pihak lain. Demikian juga kalimat "memberitakan secara berimbang" di pasal 3 KEJ bermakna memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada masing-masing pihak secara proporsional.
Hindari Diksi yang Memecah Belah
Sapto berpesan agar wartawan menghindarkan pemakaian diksi yang bisa membelah masyarakat. Hal itu bisa memperburuk kohesi sosial yang seharusnya dibangun lebih kondusif dengan tetap menjunjung tinggi demokratisasi.
Kondisi yang ada di masyarakat, ujarnya, sedang nggak kondusif. Masyarakat terpolarisasi sebagai ekses dari pemilu sebelumnya, caci maki dan sumpah serapah antarwarga sering muncul di media sosial, sehingga hubungan pertemanan serta persaudaraan terpengaruh.
“Semestinya wartawan (termasuk yang berkompeten) menghindari diksi kadrun atau cebong yang tidak baik itu,” ujar Sapto.
Media sebagai Kontrol Sosial
Wartawan dan media pada dasarnya berfungsi sebagai kontrol sosial. Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jatim Lutfi Hakim menyatakan bahwa wartawan yang kompeten nggak melupakan UU Pers pasal 3 ayat 1 yang menyebut pers berfungsi sebagai edukasi, hiburan, informasi, dan kontrol sosial. Dia menekankan fungsi media sebagai watchdog amatlah penting.
“Suarakan, menggonggonglah dengan memberitakan. Akhirnya mereka tidak jadi sekongkol. Itulah cara wartawan berkompeten melindungi kehidupan bangsa,” kata dia.
Sebagai masyarakat kita juga seharusnya sudah lebih cerdas ketimbang lima tahun lalu ya, Millens. Bacalah berita dari media yang independen dan kompeten, jangan mudah percaya kabar hoaks, dan selalu cek setiap kebenaran berita yang kamu baca. (Siti Khatijah/E05)