Inibaru.id – Meski telah dianggap sebagai bagian dari masyarakat Tanah Air, realitanya, sentimen terhadap etnis Tionghoa di Indonesia masih terjadi. Terbaru, warganet digegerkan dengan protes sebagian orang yang menganggap pakaian adat di pecahan uang Rp 75 ribu yang baru berasal dari Tiongkok. Padahal, protes ini tidak benar karena realitanya pakaian adat ini berasal dari Suku Tidung, Kalimantan.
Berdasarkan keterangan Eunike Mutiara Himawan dari University of Queensland, Australia, salah satu masa di mana kebencian terhadap etnis Tionghoa sangat tinggi adalah saat kerusuhan 1998. Sayangnya, prasangka ini ternyata masih bertahan cukup kuat hingga sekarang.
Daniel Chirot, pakar sosiologi dari Amerika Serikat menyebut masyarakat Indonesia masih menganggap etnis Tionghoa sebagai orang asing. Hal ini disebabkan oleh kecenderungan masyarakat Indonesia yang mengidentifikasi warga negara dengan menentukan apakah seseorang berasal dari etnis “asli” atau bukan. Sayangnya, orang-orang Tionghoa nggak dianggap masuk dalam etnis “asli”.
Hal ini disebabkan oleh nggak adanya keterikatan etnis Tionghoa dengan wilayah di Indonesia. Sebagai contoh, orang Sunda identik dengan Jawa Barat, Minang dengan Sumatera Barat, atau Bugis dengan Sulawesi. Selain itu, kecemburuan masyarakat “asli” terhadap keberhasilan ekonomi orang-orang Tionghoa semakin memperuncing prasangka ini.
Sejarah mencatat, prasangka terhadap orang Tionghoa ternyata sudah ada sejak zaman kolonial. Hal ini diawali dengan keputusan pemerintah Hindia Belanda yang memberlakukan klasifikasi rasial pada 1854. Mereka memasukkan orang Tionghoa sebagai bangsa “Timur Asing”.
Saat pergerakan kemerdekaan mulai tumbuh di awal abad ke-20, orang Tionghoa mengalami masalah dalam memilih tiga pilihan nasionalisme, yakni Tiongkok, Belanda, atau calon negara Indonesia. Hanya, ada sebagian orang Tiongkok yang memilih untuk membentuk semacam organisasi nasionalis semacam Boedi Oetomo. Organisasi tersebut adalah Tiong Hoa Hwee Koan yang didirikan pada Juli 1900. Organisasi ini fokus pada pendidikan dan kebudayaan Tiongkok.
Di masa itu, sering terjadi konflik antara organisasi pedagang lokal dengan organisasi pedagang Tiongkok yang mulai dominan. Banyak pedagang lokal yang berusaha untuk memproteksi ekonominya. Hal ini ikut mempengaruhi munculnya organisasi hukum Sarekat Islam pada 1912. Organisasi ini dibuat untuk melindungi ekonomi lokal, khususnya perdagangan batik dalam menghadapi dominasi kaum Tionghoa dalam hal distribusi kapas, bahan pewarna, lilin, dan bahan impor lainnya.
Persaingan ekonomi ini ternyata memicu konflik di berbagai daerah seperti Solo, Surabaya, Pasuruan, Lasem dan Cirebon. Sejak saat inilah, banyak Peranakan Tionghoa yang mulai merasakan perubahan dari yang baik-baik saja dengan masyarakat lokal, menjadi penuh prasangka dan kebencian.
Memang, sejak runtuhnya Orde Baru pada 1998, kerusuhan anti-Tionghoa sudah jauh berkurang. Hanya, konstruksi bahwa orang Tionghoa di Indonesia sebagai orang asing sudah kadung melekat di benak banyak masyarakat.
Jika dirunut dalam sejarah, realitanya, empat orang peranakan Tionghoa masuk dalam anggota Badan Persiapan Untuk Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Bahkan, Djiaw Kie Siong mengizinkan Soekarno dan Hatta singgah di rumahnya saat dibawa para pemuda ke Rengasdengklok, beberapa hari sebelum proklamasi kemerdekaan. Jadi, kalau ada anggapan bahwa Orang Tionghoa nggak berperan dalam kemerdekaan Indonesia, hal ini sangat keliru, Millens.
Nah, kalau menurut kamu, apakah sebaiknya ada tindakan yang dilakukan pemerintah atau pihak lain agar sentimen terhadap masyarakat Tionghoa ini berakhir, Millens? Atau, sebaiknya biarkan saja seperti ini? (Kom/IB09/E05)