Inibaru.id - Sejak 24 November 2025, bencana banjir bandang dan longsor menerjang beberapa kabupaten serta kota di wilayah Sumatra Utara. Hingga kini tercatat sedikitnya 2.851 orang di empat kabupaten/kota dilaporkan mengungsi akibat bencana tersebut.
Korban tewas yang telah dikonfirmasi mencapai belasan orang, tersebar di wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah, Tapanuli Selatan, Tapanuli Utara, dan Kota Sibolga. Data dari BNPB dan Basarnas ini bisa jadi akan terus bertambah karena proses evakuasi dan pencarian korban masih berlangsung.
Menurut BNPB, penyebab utama bencana ini adalah kombinasi cuaca ekstrem yang dipicu oleh Siklon Tropis Koto di Laut Sulu dan Bibit Siklon 95B di Selat Malaka, yang bersama-sama membawa hujan lebat dan angin kencang ke wilayah Sumatra Utara.
Prakiraan cuaca dari BMKG memperingatkan bahwa hujan lebat dan angin kencang masih berpotensi berlangsung, sehingga risiko banjir susulan dan longsor tetap tinggi.
Akibat bencana ini, banyak wilayah kini memutuskan untuk menetapkan status tanggap darurat. Tiga daerah yang sudah resmi menetapkannya yakni Kabupaten Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, dan Mandailing Natal.
Kerusakan Alam dan Cuaca Ekstrem
Jika BNPB mengungkapkan bahwa cuaca ekstrem adalah penyebab langsung terjadinya bencana, kelompok advokasi lingkungan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumut menduga kuat bencana kali ini nggak lepas dari kerusakan ekosistem hutan, terutama di wilayah Bukit Barisan dan kawasan Batang Toru.
Direktur Eksekutif Walhi Sumut Rianda Purba menyoroti, deforestasi di hulu sungai sangatlah masif. Berdasarkan video yang beredar, banyak batang pohon terbawa arus saat banjir bandang.
“Di Kecamatan Batang Toru, yang meluap itu Sungai Batang Toru. Di hulunya ada tiga sumber aliran air yang tutupan hutannya sebagian sudah hilang,” ujar Rianda.
Walhi menuding sejumlah korporasi besar, termasuk PT Agincourt Resources (operator tambang Martabe), perusahaan PLTA, perkebunan, dan industri kayu, sebagai para pelaku utama deforestasi di Batang Toru.
Menurut mereka, praktik penebangan kayu, pembukaan hutan untuk pertambangan, dan alih fungsi lahan menjadi penyebab air deras nggak bisa lagi terserap alami, sehingga memperparah dampak hujan ekstrem.
Penyangkalan dari Korporasi
Dikutip dari BBC, Kamis (27/11), atas tudingan tersebut, PT Agincourt Resources dalam pernyataan tertulis menyanggah klaim bahwa aktivitas mereka menyebabkan bencana. Mereka menyatakan, lokasi tambang mereka berada di DAS Aek Pahu, berbeda dengan DAS Garoga/Aek Ngadol yang terdampak banjir.
Oleh karena itu, menurut perusahaan, nggak ada keterkaitan langsung antara operasi mereka dengan kawasan terdampak. Namun begitu, perusahaan mengklaim telah membantu upaya darurat di lokasi bencana dengan mengerahkan tim tanggap bencana.
Selain itu, mereka juga menyediakan perahu karet, peralatan medis untuk evakuasi, serta mendirikan posko bantuan di sejumlah desa yang mengalami bencana.
Terlepas dari tuduhan dan sangkalan tersebut, bencana banjir serta longsor di Sumut itu telah melumpuhkan banyak aspek kehidupan. Beberapa wilayah kini terisolasi, nggak ada aliran listrik dan jaringan telekomunikasi, termasuk di Kota Sibolga serta Kabupaten Tapanuli Tengah, Selatan, dan Utara.
Penanganan bencana nggak bisa dilakukan dengan segera karena tim evakuasi yang mencoba mencapai daerah terdampak melalui jalur laut sering menghadapi kendala kondisi cuaca ekstrem dan gelombang tinggi.
Tim Evakuasi Telah Dikerahkan
BPBD dan tim SAR dari Basarnas telah dikerahkan untuk membantu evakuasi dan memenuhi kebutuhan mendesak. Pemerintah juga telah menginstruksikan agar tim tanggap darurat segera dikerahkan untuk menangani longsor dan banjir di Sumatra.
Sementara itu, masyarakat setempat tetap diminta untuk senantiasa waspada karena cuaca ekstrem diprediksi masih berlangsung dalam beberapa hari ke depan. Berdasarkan data kepolisian dan BNPB, total ada 48 korban tewas dan 88 hilang dalam bencana ini.
Korban terbanyak berasal dari Kabupaten Tapanuli Selatan (17 orang), disusul Tapanuli Utara (9), Tapanuli Tengah (4), Pakpak Bharat (2), Nias Selatan (1), Kota Sibolga (8), Kota Padangsidimpuan (1), dan Kabupaten Humbang Hasundutan (5).
Dalam kesempatan tersebut, Walhi Sumut mendesak pemerintah untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap izin beroperasi di kawasan Batang Toru, terutama untuk aktivitas pertambangan, pembalakan, dan perkebunan. Mereka menilai, tanpa tindakan tegas, bencana serupa berpotensi terjadi lagi ke depan.
Menurut mereka, bencana ini menunjukkan bahwa kerusakan ekologis dan penurunan fungsi hutan sebagai penyangga air telah melewati ambang aman bagi lingkungan dan komunitas.
Fakta bahwa banjir bandang membawa gelondongan kayu adalah fakta bahwa dampak kerusakan lingkungan itu nyata. Maka, setelah kejadian tersebut, bukan hanya evakuasi dan bantuan logistikyang harus dibahas, tapi juga gimana proses pemulihan dan evaluasi terhadap kebijakan terkait lingkungan. (Siti Khatijah/E10)
