Inibaru.id - Wahyudi mengaku kerepotan setiap kali pasokan galon air minum di rumahnya habis. Dengan sepeda motor maticnya, dia pun harus membeli air di depot isi ulang air minum yang berjarak sekitar 1 kilometer dari rumahnya di Sendangmulyo, Kecamatan Tembalang, Kota Semarang.
Dia terpaksa melakukannya karena pasokan air keran yang diterima di rumahnya belum bisa dijamin kebersihan dan kejernihannya.
"Terkadang jernih, terkadang keruh, terkadang juga ada semacam bau gitu meski tipis. Makanya, buat masak atau minum, saya akhirnya beli air galon," ucapnya di depot isi ulang air minum pada Rabu (17/9/2025).
Dia juga mengaku terpikir untuk membuat sumur bor sendiri di rumahnya agar bisa mendapatkan sumber air bersih sendiri. Tapi, karena lokasinya di kawasan perkotaan yang padat penduduk, ditambah dengan adanya sungai besar nggak jauh dari situ yang juga terlihat nggak bersih, dia pun nggak yakin jika nantinya sumur tersebut mampu menyediakan air bersih.
"Pihak penyedia jasa sumur bor kan juga nggak bisa menjamin juga sebaik apa kualitas air yang didapat nanti. Makanya ya mau nggak mau saya kerepotan dengan membeli air galon seperti sekarang ini," ucapnya.
Masalah yang dihadapi Wahyudi ternyata bukan kasus tunggal. Di banyak wilayah perkotaan lain, kondisi air tanah memang dinilai makin memprihatinkan. Menurut Profesor Suprihatin dari Departemen Teknologi Industri Pertanian IPB, air tanah di perkotaan sangat rentan tercemar, terutama oleh limbah rumah tangga, pestisida, hingga logam berat.
"Air tanah di kota tidak bisa disamakan dengan air di wilayah pegunungan. Aktivitas manusia yang padat sangat berpengaruh pada kualitasnya," terang Suprihatin sebagaimana dikutip dari Harian Jogja, (15/9/2025).
Air tanah dangkal, yang banyak digunakan masyarakat di daerah padat penduduk, justru paling berisiko. Letaknya yang dekat permukaan membuatnya mudah terinfiltrasi zat pencemar. Total zat terlarut (TDS) di beberapa kota besar seperti Jakarta, Bandung, dan Malang bahkan ditemukan setara dengan air sungai yang tercemar berat.
Survei Kementerian Kesehatan juga menguatkan kekhawatiran ini. Banyak sumur dangkal di kawasan padat ternyata tak memenuhi standar air minum secara fisik, kimia, maupun mikrobiologi. Akibatnya, risiko kesehatan seperti diare dan gangguan pencernaan pun meningkat, apalagi jika air tersebut langsung dikonsumsi tanpa pengolahan.
Meski berbagai teknologi pengolahan air kini tersedia, seperti filtrasi hingga ozonisasi, proses tersebut tetap membutuhkan biaya tambahan yang tak sedikit. Tak heran jika banyak warga akhirnya lebih memilih membeli air galon atau air isi ulang sebagai solusi praktis.
Suprihatin pun menegaskan pentingnya pelestarian lingkungan, terutama di daerah hulu, sebagai kunci menjaga kualitas air tanah. Pemeriksaan berkala terhadap air, termasuk dari sumur dalam, tetap diperlukan karena kontaminan bisa masuk hingga ke lapisan akuifer yang dalam sekalipun.
Jadi, masihkah kita bisa mengandalkan air tanah di kota sebagai sumber air minum utama? Jika melihat kondisinya saat ini, sepertinya belum. Mau nggak mau, langkah terbaik bagi kita adalah tetap waspada dan terus mendorong perbaikan tata kelola lingkungan serta sistem sanitasi.
Semoga saja pemerintah juga semakin memperbaiki kualitas penyediaan air bersih bagi warganya karena tentu saja, air adalah salah satu kebutuhan dasar manusia untuk hidup. Setuju, kan, Gez? (Arie Widodo/E07)
