Inibaru.id - Sewaktu mengunjungi Malioboro, Yogyakarta, saya mendapati ada toko roti lama. Namanya adalah “Roti Djoen”.
Saya mencoba masuk. Interiornya tampak kuno tanpa penyejuk ruangan. Roti-rotinya pun ditata dengan sederhana, nggak seperti toko roti modern yang dipajang secara anggun.
Saya datang pada Selasa (17/12) sore, dibarengi hujan rintik yang membasahi setiap jengkal Jalan Malioboro. Sebetulnya menarik jika saya bisa menengok ke dapurnya. Namun sayang saya terlambat, sebab pada waktu itu pembuatan roti sudah usai. Alhasil saya cuma bisa berbincang-bincang dengan sang pemilik.
Hardinah, namanya. Perempuan usia senja yang pada tahun ini sudah berumur 83 tahun. Dia adalah menantu dari Tandien Now, seseorang yang memelopori Roti Djoen ini. Kepada saya, dia banyak bercerita.
“Resep Roti Djoen dipertahankan secara turun-temurun. Sewaktu penjajahan Jepang, bahkan kami sempat memakai ketela sebagai bahan baku roti. Soalnya waktu itu gandum-gandum disita oleh mereka,” ujar Hardinah.
Menurut Hardinah, dulu luas tokonya nggak seperti sekarang, lebih lebar lagi. Karena adanya bagi-bagi warisan, kemudian menjadi sepetak saja. Dia juga membeberkan, ada masa-masa ketika Roti Djoen ramai pelanggan.
“Waktu zaman Pak Harto terutama, wah itu ramai sekali. Mungkin pada zaman itu masih serba murah ya,” ucap perempuan kelahiran Semarang ini.
Kemudian saya mencoba rotinya. Saya mencicipi roti buaya dan roti amandel. Untuk roti buaya, menurut saya nggak ada istimewanya. Ya karena nggak ada isinya. Cuma manis saja.
Tapi untuk roti amandel, wah, rasanya sangat nagih. Isian kacang dan gulanya yang melimpah dibalut daging roti yang empuk serta tebal terasa nikmat ketika dikunyah.
Menurut Widowati, anak perempuan Hardinah, hingga saat ini Toko Roti Djoen memang masih memproduksi roti-roti kuno. Roti amandel yang saya coba tadi salah satunya. Roti lainnya yakni, roti sobek, omdeku, warwall, dan roti sus. Widowati kemudian teringat kalau Toko Roti Djoen merupakan yang memulai terciptanya roti pisang.
“Dulu itu roti paling isinya cuma terigu sama gula. Tapi kemudian hari kami coba memberinya pisang. Eh, kok enak, jadi kami teruskan. Nah, mulai dari itulah semua orang lalu mengikuti,” jelasnya.
Oh, iya, buat kamu yang mau beli Roti Djoen. Kamu nggak bisa menyimpannya dalam waktu lama. Pasalnya, roti di sini nggak memakai bahan pengawet. Maksimal bisa bertahan empat hari. Kalau dimasukkan ke pendingin pun, mungkin menambah satu atau dua hari. Itupun akan jadi keras.
Dalam pembuatan pun, Roti Djoen masih sangat tradisional. Mereka nggak memakai oven modern tapi masih memakai oven bata.
Nama tenar Roti Djoen tampaknya nggak sampai ke telinga muda-mudi masa kini. Widowati menyatakan kalau pembeli rata-rata adalah orang tua yang punya sejarah dengan roti ini. Atau sekalipun pembelinya masih muda karena tahu dari orang taunya.
“Sebagian besar pembeli punya kesan tersendiri pada masa mudanya. Atau seseorang yang merantau. Anak muda yang tahu roti ini pun memang kebanyak karena ajakan orang tuanya,” ujar Widowati.
Roti Djoen ini buka sejak pukul 08.00 hingga 21.00, Millens. Lokasinya pun mudah ditemukan karena berada di kawasan Malioboro dan Kampung Tendean, Yogyakarta. Yuk, mampir! (Audrian F/E05)