Inibaru.id - Banyak yang bilang, ke Vietnam nggak akan lengkap kalau belum mampir ke salah satu kedai kopi di sepanjang Jalan Phung Hung, Hanoi. Bukan untuk ngopi, tapi merasakan sensasi menonton kereta api yang lewat dari jarak sangat dekat.
Berlokasi sekitar 50 meter dari pusat kota Hanoi, jalan tersebut memang bersisian dengan jalur rel kereta api, dengan jarak yang saat kereta melintas terlihat hampir menyentuh rumah warga. Keunikan inilah yang menjadikannya sebagai spot wisata "train street" paling autentik di Negeri Naga Biru.
Saat kereta mulai terlihat dari kejauhan, orang-orang akan melongok ke sisi rel, lalu menyodorkan kamera atau sekadar melambaikan tangan menyambut rangkaian kereta yang melintas. Situasi yang sama juga bisa kamu lihat di Jalan Hasanudin, Kota Semarang.
Di sekitar perlintasan kereta yang memotong Jalan Hasanudin, kamu juga akan melihat orang-orang yang berdiri di sisi rel saban sore. Begitu kereta mulai terlihat dari kejauhan, mereka yang semula duduk di tepian akan berdiri dan mendekat, lalu mengambil gambar atau sekadar melambaikan tangan.
Wisata train street di Jalan Hasanudin memang nggak sesensasional di Hanoi yang jarak keretanya begitu dekat dengan rumah warga. Namun, tetap saja berwisata di tempat ini mengasyikkan. Biasanya, menjelang sore, warga dari kecil hingga dewasa mulai berdatangan untuk menanti kereta lewat.
Lokasi perlintasan kereta di Jalan Hasanudin memang berdekatan dengan Stasiun Poncol sehingga kereta yang akan melintas, baik masuk atau keluar stasiun, akan terlihat jelas dari tempat tersebut. Karena itulah tempat ini menjadi salah satu spot terbaik untuk menonton kereta di Semarang.
Melambai ke Arah Masinis
Saat palang pintu perlintasan kereta ditutup dan sirine dibunyikan, orang-orang yang semula menanti di pinggir rel akan segera berdiri, lalu menengok ke kanan-kiri untuk menebak arah kedatangan, kemudian berakhir dengan anak-anak melambaikan tangan ke arah masinis saat kereta melintas. Itulah yang setiap sore terjadi di lokawisata gratis tersebut.
Sensasi paling mengharukan di tempat ini adalah ketika lambaian tangan anak-anak disambut lambaian masinis. Anak-anak akan tersenyum lebar. Bahagia. Para orang tua yang mengantarkan mereka pun setali tiga uang.
Kebahagiaan serupa juga dirasakan Sudarsono. Datang bersama cucu dari anak pertamanya belum lama ini, lelaki paruh baya itu mengaku senang karena sempat melihat kereta melintas beberapa kali. Dia senang karena cucunya yang baru berusia setahun sudah mulai terbiasa dengan kereta.
"Awal-awal diajak ke sini, dia (cucu) sempat takut karena suara bising dari kereta, tapi sekarang sudah terbiasa," tutur kakek 60 tahun yang tinggal nggak jauh dari Stasiun Poncol tersebut.
Sudarsono mengungkapkan, menonton kereta adalah aktivitas yang dulu juga dia lakukan bersama ayahnya. Saking seringnya menghabiskan sore di pinggir jalur kereta tersebut, warga Kelurahan Panggung Lor tini sampai hafal nama-nama kereta api yang melintas saat senja.
"Ini (aktivitas menonton kereta) sudah lama sekali. Waktu kecil saya juga diajak lihat-lihat kereta api sama ayah; pas remaja malah suka naik kereta tanpa beli tiket dari Poncol ke Tegal," kelakarnya.
Menaiki Mesin Waktu
Bagi Sudarsono, menonton kereta di Jalan Hasanudin ibarat menaiki mesin waktu. Jadi, selain momong cucu, menyambangi tepian jalur kereta ini pada sore hari juga bentuk bernostalgia; hal serupa yang juga dirasakan Sukardi.
Lelaki yang berprofesi sebagai satpam ini bukanlah warga setempat. Namun, dia yang kini tinggal di Kecamatan Ngaliyan beberapa kali sengaja menempuh perjalanan belasan kilometer hanya untuk menghabiskan sore bersama buah hatinya di tempat tersebut.
"Dulu, saya ajak dia (anak) sekali nonton kereta di sini; eh, habis itu malah ketagihan. Jadi, begitu ada waktu luang, ya sudah, saya ajak dia ke sini lagi," ujar lelaki yang memang senang memperkenalkan berbagai alat transportasi umum kepada buah hatinya tersebut.
Menurut Sukardi, kecintaan anak-anaknya pada kereta api menurun dari dirinya yang juga punya ketertarikan yang sama terhadap si kuda besi ini. Terkait hal tersebut, dia mengaku punya banyak kenangan yang hingga kini masih diingat-ingatnya.
"Yang paling saya ingat adalah diajak bapak naik kereta barang (sembunyi-sembunyi) sekadar untuk menikmati perjalanan ke Jakarta," kenangnya dengan mata berbinar. "Nggak kehitung jari (naik kereta barang); kalau ketahuan tinggal bayar 300 perak ke petugas bagian rem."
Wah, banyak cerita juga, ya? Semoga wisata train street di Semarang ini nggak bernasib serupa dengan Hanoi yang sempat ditutup pemerintah setempat lantaran dianggap terlalu membahayakan, ya! (Fitroh Nurikhsan/E03)