Inibaru.id - Sisa embun di dedaunan belum juga mengering ketika saya menyambangi Nova David Ariyanto, Minggu (20/7/2025). Kami bertemu di alun-alun kota Jepara. Di hadapan Nova, telah berdiri 11 orang lain yang rata-rata masih berusia muda.
Ke-11 orang ini adalah para peserta tur sejarah bertajuk "Walking Tour: Aloon-aloon en Omstreken" yang diinisiasi oleh Saujana Jepara bersama Pojok Kliping. Mereka berasal dari Jepara, Semarang, dan Kudus.
Nova sengaja mengawali pagi itu lebih cepat agar bisa menyelesaikan misi hari itu, yakni menyusuri jejak sejarah Jepara sebagai salah satu kota pelabuhan terbesar pada masa kolonialisme.
Tur kecil ini dimulai dari alun-alun kota. Di antara hiruk-pikuk masyarakat setempat yang tengah menikmati akhir pekan di pusat keramaian ini, Nova mengawali obrolan dengan narasi seperti tengah membuka lembaran lama yang tertutup debu.
“Jepara berasal dari banyak nama,” lontarnya. “Mulai dari Ujung Para, tempat nelayan membagi hasil tangkapan, lalu berubah menjadi Ujung Mara, Jumpara, Japara, hingga akhirnya Jepara.”
Penamaan itu tentu saja bukan tanpa alasan; sebagaimana alasan mengapa tur dimulai dari alun-alun yang konon sudah menjadi pusat keramaian sejak lama ini, khususnya di sisi utaranya; yang pernah digambarkan Candranegara V kerap becek dengan ringin kurung yang merana.
Ringin kurung adalah istilah untuk pohon beringin besar yang biasanya ditanam di alun-alun kota. Nova mengatakan, ada dua potret berbeda dari alun-alun ini. Yang satu merana, tapi seabad kemudian disebut Th Van Ovink sebagai alun-alun terindah di keresidenan.
Nova mengatakan, dua potret yang bertentangan ini menegaskan bahwa Jepara mengalami perubahan, nggak cuma dari segi nama, tapi juga lanskap dan fasilitasnya. Tergantung siapa yang melihat dan kapan, narasinya akan berbeda-beda.
"Di sisi timur (alun-alun) ini berdiri Monumen Kapal Jung 'Djong Java', simbol kejayaan maritim Jepara, yang merangkai kembali cerita tentang Adipati Unus kala memimpin ekspedisi melawan Portugis di Malaka, mengerahkan armada jung dari kayu jati empat lapis," kata dia.
Dalam catatan penjelajah Portugis, Gaspar Correia, dia menggambarkan kapal Jung Jawa lebih menakutkan dari badai. Dari kejauhan, monumen tersebut memang tampak megah. Di antara dinding monumen, seolah masih terdengar denting palu tukang kayu dan doa pemberangkatan.
"Laut bagi Jepara bukan hanya jalur ekonomi, tetapi juga ruang keberanian," terangnya sembari mengajak rombongan berarak ke pendopo kabupaten.
Seperti sekarang, Pendopo Kabupaten Jepara juga merupakan pusat kekuasaan masa lalu yang menjadi tempat ayah Kartini pernah menjabat sebagai bupati. Di sini, Kartini kecil mendengar diskusi laki-laki soal kolonialisme dan masa depan di balik tabir.
"Tepat di serambi belakang pendopo inilah Kartini mendirikan Sekolah Teras," imbuhnya.
Susi Ernawati, penulis buku Sekolah Teras Kartini yang juga mengikuti walking tour menuturkan bahwa Kartini nggak hanya mengajarkan baca tulis, tapi juga pendidikan karakter dan keterampilan hidup. Dari ruang sederhana ini, ide-ide emansipasi bertunas.
Meski bangunannya kini berubah, tiang dan jendela kayunya masih seperti menyimpan suara-suara masa lalu. Sekolah ini hidup kembali dalam kegiatan komunitas, peringatan Hari Kartini, dan pendidikan informal hari-hari ini.
Jejak Tionghoa di Jepara
Dari alun-alun, perjalanan berlanjut ke kawasan Pecinan. Rumah-rumah tua dengan cat kayu yang kusam, kelenteng yang nggak lekang oleh waktu, dan deretan toko lama dengan tembok yang agak kecokelatan termakan usia, menyambut kami.
Jepara memang bukan kota homogen. Sejak abad ke-7, orang-orang Tionghoa telah berdagang di sini. Mereka datang dengan porselen, pulang dengan lada, dan meninggalkan jejak budaya yang meresap diam-diam.
Domine Valentijn dalam catatannya pada 1706 menyebut jalanan Jepara bersih dan penuh kehidupan. Kini, meski tersisih oleh waktu, sisa-sisa itu masih bisa disentuh oleh mata yang telaten dan hati yang terbuka, nggak terkecuali di pecinan maupun tujuan kami selanjutnya, yakni Gedung Bapenda.
Hari ini Gedung Bapenda, dulu adalah Loji VOC. Didirikan sejak 1615, loji ini adalah simbol kehadiran Belanda yang bukan hanya berdagang, tapi juga bermaksud menguasai. Dari sinilah, Jepara dimasukkan ke dalam pusaran globalisasi rempah; dan tentu saja kolonialisme.
Di beranda loji itu mungkin dulu para opsir kolonial mencatat harga lada dan menandatangani perjanjian, yang kini tinggal dinding dan jendela yang membisu. Namun, jika kita jeli, kekuasaan selalu meninggalkan jejak, bahkan saat kekuasaan itu sendiri telah lama pergi.
Kekuasaan dan ekonomi adalah dua hal yang bertalian. Di Jepara, jejak perputaran ekonomi bisa dilihat dari tepian Kali Wiso yang kami susuri sebagai bagian dari tur. Nova mengungkapkan, pada masanya, sungai ini adalah urat nadi perdagangan. Perahu bisa menyusuri sungai hingga ke tengah kota.
"Kini, alirannya menyempit dan tersumbat," kata dia, menunjukkan rona kesedihan. “Kalau mau diam sejenak, kita mungkin bisa mendengar suara pendayung atau riuh anak-anak menyambut kapal dari Tumasik (Singapura).”
Nova menjelaskan bahwa pada zaman kolonialisme, sungai tersebut adalah sumbu: antara hinterland dan pelabuhan. DI sinilah pertemuan antara petani dan pedagang dilakukan, yang kemudian menjalun kongsi untuk menjadikan pesisir Jepara sebagai tempat berlabuh kapal-kapal besar.
"Sebutan 'Kota Pelabuhan' untuk Jepara lahir dari titik ini dan menghilang seiring perubahan geografi dan kekuasaan," akunya.
Bicara tentang kota pelabuhan belum tuntas tanpa menyoal benteng pertahanan di bibir pantainya. Inilah kenapa tur dilanjutkan ke Fort Japara sebagai destinasi puncak. Di pemberhentian terakhir inilah jejak sejarah Jepara sebagai kota pelabuhan tergambar sempurna.
Benteng yang berlokasi di Bukit Danareja, Kelurahan Ujungbatu, Kecamatan Jepara ini kini tinggal tersisa reruntuhan dengan puing bastion (struktur benteng yang menjorok keluar) yang tertutup lumut. Nova menjelaskan, di tempat inilah Amangkurat II dimahkotai pada 1677.
"Amangkurat II dimahkotai dan VOC mengikat kontrak politik terbesar dengan Mataram," ucapnya. "Tempat ini pernah besar, sebelum Jepara ditinggalkan."
Fort Japara mulai ditinggalkan setelah konflik Trunajaya mereda. Semarang yang mengambil alih pusat niaga membuat Jepara tenggelam dan meredup, menyisakan puing-puing bangunan yang terperai. Namun, Nova menolak untuk memaknainya sebagai kekalahan, tapi pengingat.
"Ini adalah pengingat bahwa Jepara pernah menjadi panggung politik penting di Jawa, meski kemudian hanya tercatat samar di buku sejarah," tuturnya diikuti senyuman tipis, sebelum mengajak kami kembali ke pusat kota.
Tiba kembali di titik awal, saya melihat alun-alun semakin ramai warga setempat yang menghabiskan akhir pekan di pusat keramaian. Hati saya berbisik, mereka adalah orang-orang beruntung yang lahir di kota penting dengan sejarah yang panjang yang membanggakan. (Imam Khanafi/E10)
