Inibaru.id – Kalau kamu lewat jalan Sumowono, Kabupaten Semarang – Temanggung, pasti melihat sesuatu yang unik di pinggir jalan. Setelah melewati jalan berkelok dengan pemandangan alam spektakuler dari Sumowono, di Kecamatan Kaloran, Temanggung, bakal sering melihat vihara di pinggir jalan.
Keberadaan vihara-vihara tersebut nggak jauh dari musala, masjid, atau bahkan gereja terdekat. Yap, di Kecamatan Kaloran, memang bukan hal yang aneh melihat tempat ibadah dari 3 agama yang berbeda berada di lokasi yang nggak jauh. Di sana, masyarakat juga sudah terbiasa hidup rukun tanpa mempermasalahkan kepercayaan orang lain.
Mengingat umat Buddha di Indonesia tergolong sebagai minoritas, keberadaan sekitar 46 vihara di Kecamatan Kaloran dengan jumlah umat hampir 8.000 jiwa tentu cukup menarik.
Menurut Buddhazine (13/8/2015), pada 1966 lalu, Kaloran memang menjadi basis agama Buddha di Tanah Air. Tapi, deklarasi ‘kebangkitan’ agama Buddha di Kaloran baru benar-benar dilakukan pada 1 Juni 1968. Sejak saat itu, penganut agama Buddha di kecamatan yang dikenal punya suhu udara sejuk tersebut semakin meningkat.
“Saat pertama kali agama Buddha dibuka di Kaloran, setidaknya 1.500 orang datang mendaftar. Kabar tentang munculnya agama Buddha menyebar hingga ke pelosok Kaloran,” tulis Ngatiyar pada buku berjudul Berpeluh Berselarah: Buddhis-Muslim Meniti Harmoni yang terbit pada 2010 lalu.
Yang menarik, di Kampung Mranggen, Dusun Kandangan, ada satu orang yang dianggap sebagai ‘penanda’ berkembangnya agama Buddha di kampung tersebut. Nama orang tersebut adalah Budho yang lahir pada 1969.
“Lahirnya bapak ini adalah penanda tumbuhnya agama Buddha di sini. Karena itu namanya Budho,” ucap sesepuh kampung Muntoyo sembari menunjuk ke arah Pak Buddho.
Hidup Rukun Berdampingan dengan Umat Beragama Lain
Karena jumlah umat Buddha di Kaloran cukup banyak, kamu bisa melihat mereka hidup berdampingan dengan umat muslim yang jadi mayoritas di sana dan umat-umat beragama lain. Di sana, bukan hal yang aneh melihat seorang Bhante mengobrol atau kerja bakti bersama dengan guru ngaji.
Hal ini dibenarkan oleh Kepala Desa Kalimanggis Didik Agung Susilo. Di sana, umat dari agama Islam, Buddha, Katolik, Kristen dan aliran kepercayaan yang terorganisir dalam Persatuan Warga Sapta Darma (Persada) sudah biasa saling membantu selama puluhan tahun.
“Kalau ada selamatan ya doanya dari semua agama. Pas Maulid Nabi beberapa saat lalu, semuanya ikut kerja bakti, membuat panggung,” ucapnya sebagaimana dilansir dari Jatengprov. (19/7/2019).
Hal serupa diungkap Bante Thitasaddho. Laki-laki kelahiran Kalimanggis yang beribadah di Wisma Bhikku Jaya Wijaya senang dengan kerukunan yang dijaga warga desa tempat tinggalnya. Umat Buddha di sana pun semakin mantap menjalankan ajaran Buddha yang menekankan pentingnya menyebarkan cinta asih tanpa pilih kasih.
“Inti ajaran Buddha kan nggak boleh berbuat jahat, saling menolong, dan menghormati,” ucapnya.
Semoga saja semangat kerukunan yang terjadi di Kaloran juga bisa menyebar di wilayah-wilayah lain di Indonesia, ya, Millens? (Arie Widodo/E05)