Inibaru.id - Di tepi laut Tana Beru Bulukumba, suara palu yang diketuk ke sebuah kayu sahut menyahut. Dengung mesin amplas yang menggesek permukaan kayu membuat serbuk kayu beterbangan. Rekaman aktivitas itu terpusat di sebuah kerangka kapal yang cukup besar, yakni kapal kebanggaan Bulukumba, Pinisi.
Kabupaten yang juga dijuluki “Butta Panrita Lopi” atau Tanah Pelaut Ulung ini memang terkenal dengan sentra pembuatan kapal Pinisi. Oleh Unesco, Pinisi dinobatkan sebagai “warisan budaya tak benda” pada Desember 2017 silam.
Membuat kapal legendaris ini nggak cukup bermodal keterampilan, Millens. Pengrajin juga harus memiliki nilai kepercayaan. Kedua unsur itu penting untuk membangun kapal Pinisi megah dan aestetik yang bisa menarik minat pembeli. Para pembeli ini nggak cuma datang dari dalam Negeri, lo. Pemasaran kapal Pinisi sudah merambah ke manca negara. Wuih, ikut bangga ya?
Untuk memasarkan dan berkomunikasi dengan pelanggan, Al Fhiand, pengusaha kapal pinisi, menggunakan internet. Dia memakai email untuk lapor progres pembuatan kapal kepada pemesan. Jadi, para pemesan nggak perlu datang langsung.
“2020 ini sudah laku 4 unit. Ada yang dari Prancis dan Australia,” ujarnya kepada Tim Ekspedisi Bakti untuk Negeri. Menurut lelaki jangkung ini, media sosial juga sangat membantu pemasaran kapalnya.
Pesona Ritual Anynyorong Lopi
Nggak jauh dari kapal Pinisi setengah jadi milik Al Fhiand, suara gandrang yang berpadu dengan alat musik lainnya membuai telinga. Ternyata di sana tengah diadakan upacara Anynyorong Lopi atau peluncuran kapal. Bagi masyarakat Bugis, setelah pekerjaan besar rampung, perlu diadakan syukuran.
Mereka nggak pernah lupa berterima kasih kepada Tuhan yang telah melancarkan semua urusan. Bagian terakhir ritual ini adalah mendorong kapal Pinisi ke laut. Kamu bisa melihat pekerja bahu membahu mendorong badan kapal menuju ke air diiringi irama musik tradisional Bugis.
Deburan ombak yang mulai menyentuh badan kapal dan kaki-kaki para pekerja seolah menjadi penyemangat. Sebentar lagi, kapal bakal menyatu dengan lautan. Ritual ini sungguh bermakna dalam. Nggak jarang upacara ini menarik minat wisatawan ketika di Bulukumba. Hm, sepertinya menarik banget ya?
Dengan adanya internet, mereka berharap Pinisi yang perkasa ini dapat dikenal hingga pelosok negeri. Tampaknya ini bukan sekadar harapan. Kominfo melalui Bakti telah membangun infrastruktur jaringan internet di sini. Sudah ada 145 BTS yang dibangun dan bakal terus ditambah.
Internet untuk Amma Toa
Usai mengagumi pembuatan kapal Pinisi, perjalanan Tim berikutnya adalah Kampung Adat Amma Toa. Sekali lagi, Tim dibuat takjub menyaksikan kekayaan budaya di Bulukumba ini. Desa adat ini masih memegang teguh aturan nenek moyang.
Sehelai kain hitam dikalungkan sebagai tanda selamat datang. Tarian adat penyambutan tamu juga digelar. Di sini semua warga mengenakan pakaian serba hitam, tanpa alas kaki, dan tanpa teknologi, termasuk telepon genggam. Untuk menghormati peraturan ini, Tim nggak lagi merekam gambar.
Tapi bukan berarti penduduk hidup terkungkung. Mereka boleh kok pergi keluar untuk melihat kemajuan zaman. Di luar batas larangan, mereka bahkan melakukan promosi kain tenun secara online. Dengan berbagai aplikasi, pemasaran kain tenun ini bisa sampai tingkat internasional. Salut!
Eh, sedikit cerita mengenai tradisi menenun di sini. Semua perempuan di sini wajib bisa menenun. Kalau nggak, mereka nggak bisa menikah. Tenun merupakan budaya luhur yang bukan hanya menghidupi tapi juga warisan yang sangat berharga.
Gimana menurutmu budaya-budaya keren di Bulukumba ini, Millens? (IB28/E05)