Inibaru.id – Baru saja turun dari Puncak Ungaran, kabut tebal yang mendadak menyergap membuat Suryani kehilangan pandangan, yang berujung kehilangan jejak kelima temannya yang berada di depannya. Sebagai pendaki pemula yang nggak mengenal medan, tentu saja dia merasa panik.
"Ini peristiwa dua tahun lalu, bulan Agustus," terang perempuan asal Kabupaten Pati tersebut, Senin (30/6/2025), "tapi membekas karena aku terpaksa berhenti di sebuah jalur yang bercabang, menunggu kabut menipis. Tanpa pengetahuan mendaki yang cukup, aku takut melangkah. Ponsel low-bat pula!"
Setelah kabut menipis, barulah Yani, sapaan akrabnya, berani buka ponsel untuk memastikan posisinya ada di mana. Kebetulan waktu itu sinyal nggak menghilang. Setelah mengirim chat singkat minta tolong disertai lokasinya saat itu ke salah seorang temannya, dia memilih menunggu di jalur turun via Candi Gedong Songo.
"Skema terburuknya, aku turun sendiri. (Gunung) Ungaran bukan pendakian yang panjang. Di tas masih ada persediaan makanan. Jadi, pikirku, asal nggak tersesat, aku bakal sampai jika terus turun. Untungnya, nggak lama kemudian teman-temanku datang dan kami bisa turun dengan selamat," kenangnya.
Gawai sebagai Pendukung, Bukan Sebaliknya
Dalam pendakian tersebut, Yani merasa beruntung karena gawai yang dibawanya berhasil menyelamatkannya. Dengan teknologi mutakhir saat ini, para pendaki memang dimudahkan dengan keberadaan gawai, utamanya untuk kebutuhan navigasi dan komunikasi antarpendaki.
Namun begitu, alih-alih menjadi teknologi pendukung, terkadang gawai justru menjadi penyebab kecelakaan para pendaki. Kamu tentu masih ingat peristiwa seminggu lalu ketika seorang pendaki Gunung Muria terjatuh di jurang sedalam ratusan meter saat menuruni Puncak Natas Angin, Kabupaten Kudus.
Seorang saksi mengatakan bahwa perempuan 21 tahun itu tengah merekam pemandangan sambil berjalan sebelum diketahui terpeleset ketika memasuki trek licin yang dikenal sebagai "Jalur Naga".
Peristiwa itu tentu saja bukan kejadian pertama yang terjadi di era "apa-apa dibuat konten" seperti sekarang. Sudah menjadi rahasia umum bahwa kebutuhan untuk ngonten acap mengabaikan situasi dan keselamatan. Dari sekadar swafoto, live streaming, hingga vlog pendakian di tempat ekstrem mereka jalani.
Semua demi Konten
Sekali lagi, keberadaan gawai saat melakukan pendakian seharusnya menjadi pendukung; atau setidaknya sekadar alat dokumentasi untuk dibagikan ke media sosial. Namun, di balik semangat berbagi pengalaman ini, kadang kita kurang wawas diri dan abai terhadap bahaya yang bisa saja datang.
Pada Juli 2021, YouTuber asal Denmark, Albert Dyrlund jatuh dari tebing setinggi 200 meter di Italia saat merekam konten. Di India, influencer Aanvi Kamdar meninggal usai terpeleset di tepi air terjun saat merekam untuk reels Instagram.
Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas) menyebut, insiden akibat terdistraksi oleh ponsel saat berada di tempat-tempat yang memerlukan konsentrasi tinggi bukanlah hal baru. Kepala Subdit Operasi SAR I Wayan Suyatna, mengatakan, banyak korban tersesat karena ponsel di jalur sempit dan berkabut.
Sejumlah rute pendakian di Indonesia, dia mengungkapkan, memiliki titik-titik yang cukup ekstrem dan rawan membuat pendaki terjatuh. Ini termasuk di jalur-jalur pendakian Gunung Prau, Merbabu, dan Rinjani. "Di sinilah konsentrasi dan kesadaran penuh sangat dibutuhkan," tuturnya belum lama ini.
Tips Aman Memakai Gawai saat Mendaki
Agar tetap aman menggunakan gawai saat melakukan pendakian, berikut adalah tips yang bisa kamu coba, yang dihimpun Inibaru.id dari berbagai sumber:
- Gunakan ponsel hanya saat jalur yang kita lalui aman, nggak licin, landai, dan cukup jauh dari bibir jurang untuk mengantisipasi kemungkinan kita tergelincir;
- Berhentilah saat menggunakan gawai. Jangan merekam sambil berjalan, apalagi di jalur curam;
- Atur ke mode pesawat saat mendaki untuk menghindarkan diri dari godaan notifikasi. Selain itu, mengubah ke mode pesawat akan menghemat baterai sehingga bisa dipakai saat kondisi darurat;
- Utamakan melakukan pendokumentasian perjalanan bersama tim. Mintalah bantuan kawanmu untuk memotret alih-alih swafoto agar bisa saling menjaga dan nggak tertinggal;
- Bawalah peralatan navigasi manual. Meski akurasi gawai sudah sangat canggih, jangan hanya mengandalkan peta digital, karena kamu nggak akan pernah tahu apa yang akan terjadi di alam liar;
- Nikmati alam dengan kesadaran penuh dan kesampingkan keinginan untuk terhubung secara sosial saat itu juga via daring. Biarkan pengikutmu menunggu "oleh-oleh" cerita petualanganmu itu nanti.
Gawai ibarat belahan jiwa di era digital. Namun, pahamilah bahwa alam liar seperti gunung bisa mengubahnya sebagai "musuh" jika kamu nggak berhati-hati. Ingatlah bahwa dokumentasi terpenting dalam sebuah pendakian bukanlah selama di perjalanan, tapi cerita setelah kita pulang dengan selamat. (Siti Khatijah/E10)