Inibaru.id - Dari bebatuan purba di kaki Patiayam, lahir semangat baru mengenali jati diri dan sejarah lewat literasi anak desa. Pagi masih mengakrabi Desa Terban, Kecamatan Jekulo, Kabupaten Kudus, ketika puluhan anak SD berkumpul di halaman Museum Situs Patiayam.
Sebagian siswa memilih berlarian ke sana ke mari dengan rasa ingin tahu yang begitu besar di wajah mereka. Sementara, yang lainnya ada yang menggenggam wangkil atau cangkul mini dan kuas, mengumpamakan diri mereka sebagai arkeolog yang siap menemukan sesuatu yang lama terkubur.
Peristiwa ini terjadi sekitar pekan lalu, tepatnya pada pertengahan Oktober 2025. Di bawah naungan pohon jati, suara tawa mereka berpadu dengan teriakan mahasiswa dari Universitas Indonesia (UI) Jakarta yang memberi aba-aba kepada para bocah itu.
“Pelan-pelan ya, jangan rusak lapisannya. Mari kita gali masa lalu!” seru salah seorang di antara mereka. Bersemangat sekali.
Arkeologi Masuk Desa
Para mahasiswa Program Studi Arkeologi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) ini sengaja mengunjungi Desa Terban untuk program Arkeologi Masuk Desa. Bukan sekadar kegiatan ilmiah, program yang digelar pada 14-15 Oktober itu adalah upaya untuk menanamkan kesadaran sejarah melalui literasi eksploratif.
Sasarannya adalah anak-anak di Kudus, dengan Desa Terban yang memiliki situs purbakala Patiayam sebagai laboratoriumnya. Kendati pamornya nggak sepopuler Sangiran. Patiayam sejatinya cukup layak menjadi laboratorium arkeologi karena menyimpan kekayaan fosil yang cukup menarik.
Di tanah perbukitan yang berada di lereng Muria ini pernah ditemukan fosil gajah purba, kerbau, hingga alat batu; menandakan bahwa tempat ini dulunya adalah lembah luas yang subur, tempat para makhluk zaman prasejarah hidup dan berkembang biak.
Sayangnya, masih panyak warga setempat, khususnya anak-anak, nggak mengetahui keberadaan tempat ini, sebagaimana dikatakan Najla, salah seorang mahasiswa yang menjadi fasilitator kegiatan tersebut. Kendati bermain di sekitar situs, tapi nggak tahu bahwa tanah ini dulu juga dihuni makhluk purba.
"Maka, seharusnya beginilah arkeologi. Ia tidak seharusnya tinggal di ruang akademik atau museum, tapi hadir di tengah masyarakat yang menjadi saksi hidup warisan itu sendiri," sebutnya.
Bermula dari KKL
Gagasan Arkeologi Masuk Desa merupakan aksi lanjutan dari kegiatan survei dan program Kuliah Kerja Lapangan (KKL) yang pernah dilakukan FIB UI pada awal 2025. Sasaran mereka adalah anak-anak SD, kelompok yang selama ini jarang disentuh program pelestarian situs.
Dengan dukungan penuh dari Kepala Desa Terban, Najla dkk mengubah satu ruangan di Kantor Kepala Desa menjadi laboratorium arkeologi. Papan tulis diganti dengan pocket book bergambar fosil dan artefak, lalu meja kelas berubah jadi meja ekskavasi mini.
Para mahasiswa dan dosen UI memandu anak-anak SDN 1, SDN 2, dan SDN 3 Terban mengenal dunia arkeologi dengan cara menyenangkan: menggali replika fosil, menebak artefak, hingga menceritakan kembali kisah di baliknya.
“Lihat, ini gading gajah purba!” seru seorang anak, matanya berbinar seperti menemukan harta karun.
Dosen Arkeologi UI sekaligus pemimpin program ini, Dr Andri Purnomo mengatakan, apa yang terjadi di Terban adalah bentuk nyata dari Tridharma Perguruan Tinggi: belajar, meneliti, dan mengabdi.
“Kuliah kerja lapangan sudah dilakukan sebelumnya, kini kami ingin melanjutkan dengan pengabdian. Anak-anak harus jadi bagian dari upaya pelestarian, sejak dini,” ujarnya.
Menurutnya, pelestarian situs bukan hanya urusan ilmuwan dan pemerintah, tapi juga masyarakat, terutama generasi muda yang akan mewarisi masa depan desa itu.
Senyum Lebar di Wajah Anak-Anak
Hari pertama berakhir dengan kuku tangan yang dipenuhi tanah dan senyum lebar di wajah anak-anak. Hari kedua, mereka kembali dengan semangat berbeda, yakni menulis dan menggambar di majalah dinding (mading) hasil refleksi pembelajaran.
Ada yang menggambar gajah purba, sementara lainnya menulis cerita pendek tentang “fosil yang ingin bicara”. Dari 10 karya mading yang dikumpulkan, semuanya menunjukkan pemahaman baru, bahwa tanah di bawah kaki mereka menyimpan cerita panjang tentang manusia dan waktu.
“Melalui kegiatan ini, siswa belajar bukan hanya dengan mata, tapi dengan rasa. Mereka belajar mencintai tempat tinggalnya sendiri,” kata Gita, guru SDN 2 Terban yang ikut mendampingi kegiatan.
Setali tiga uang, Kepala Desa Terban, Supeno, juga mengapresiasi kedatangan tim Arkeologi UI tersebut. Menurutnya, program ini seperti angin segar di tengah rutinitas desa yang senyap. Dia juga menyadari bahwa selama ini pelestarian situs Patiayam seringkali hanya menyentuh kalangan dewasa seperti petani, perangkat desa, dan pengelola museum.
"Padahal, sebagian besar warga kini bekerja di sektor non-agraris. Justru anak-anaklah yang menjadi penghubung alami antara rumah, sekolah, dan masa depan desa," jelasnya. “Tentu kami senang, karena anak-anak jadi tahu sejarah desanya, bukan hanya lewat cerita orang tua, tapi melalui pengalaman langsung."
Potensi Situs Patiayam
Statistik Desa Terban pada 2025 menyebutkan, desa ini memiliki lebih dari seribu pelajar dan mahasiswa yang memiliki potensi untuk menggarap pelestarian situs. Sementara itu, meski memiliki keterbatasan penyajian dan fasilitas edukatif, Museum Patiayam telah menyimpan koleksi berharga.
Di sinilah peran kolaboratif bersama kampus menjadi begitu penting. Mahasiswa membawa metode belajar interaktif, dosen menghadirkan perspektif ilmiah, sedangkan desa menyediakan ruang sosial dan kehidupan sehari-hari sebagai laboratorium pengetahuan; sebagaimana dilakukan FIB UI.
Nggak hanya anak-anak, kegiatan yang berlangsung selama dua hari ini juga melibatkan Karang Taruna Desa Terban untuk mengikuti pelatihan dasar pelestarian situs. Mereka diajak berdiskusi tentang bagaimana menjaga situs, mengelola museum kecil, hingga memikirkan potensi wisata edukatif di masa depan.
“Pelestarian tidak bisa dilakukan sendiri,” ujar Mutakim salah satu pengelola Museum Patiayam. “Diperlukan kolaborasi dan kesadaran bersama agar potensi budaya di Desa Terban dapat terus hidup."
Kolaborasi ini pun mulai terlihat hasilnya. Berdasarkan evaluasi sederhana, yakni pre-test dan post-test para peserta, pengetahuan mereka tentang situs Patiayam meningkat tajam; dari 40 menjadi 85 persen. Sepulangnya dari sini, mungkin mereka akan bercerita tentang gajah purba atau alat batu di rumah.
Selanjutnya, bukan nggak mungkin mereka akan meminta orang tua untuk kembali ke museum dan kegiatan ini pun membuahkan hasil. Arkeologi, pada akhirnya, bukan hanya menggali benda kuno, tapi juga makna menjadi manusia. Seru sekali, ya? (Imam Khanafi/E10)
