Inibaru.id - Yogyakarta kembali bersiap menyambut malam yang sakral. Pada Kamis malam, (26/5/2025) nanti, Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat akan kembali menggelar tradisi tahunan yang selalu ditunggu; Mubeng Beteng 1 Sura. Prosesi ini bukan sekadar jalan kaki mengelilingi benteng keraton, melainkan ritual spiritual yang menyatukan langkah, doa, dan kesadaran diri.
Sebagaimana yang diungkap akun X @merapi uncover pada Minggu (22/6), acara ini dijadwalkan dimulai pukul 23.00 WIB dari Bangsal Ponconiti, kompleks Kamandungan Lor.
Rundown acara dimulai dengan pembacaan tembang macapat selepas salat Isya. Iringan tembang ini seakan menjadi aba-aba lembut untuk menyelami sunyi malam yang sebentar lagi akan diisi ribuan tapak kaki dan hati yang bertirakat.
Tirakat dalam Keheningan
Bukan Yogyakarta namanya kalau nggak menyimpan makna kedalaman dalam setiap tradisi. Mubeng Beteng, atau secara harfiah berarti “mengelilingi benteng”, memang tampak sederhana. Tapi di balik langkah kaki tanpa alas itu, tersimpan makna refleksi dan perenungan.
Nantinya, peserta berjalan sepanjang 4,5 km mengelilingi benteng Keraton Yogyakarta secara hening. Nggak ada obrolan, nggak ada tawa, dan nggak ada gawai. Bahkan makan, minum, dan merokok pun dilarang. Semua berjalan dalam sunyi, mengikuti arah berlawanan jarum jam sebagai simbol kembali pada jati diri dan kesadaran spiritual.
Tradisi ini terinspirasi dari perjalanan hijrah Nabi Muhammad SAW yang menempuh gurun tanpa alas kaki sebagai bentuk pengorbanan dan keprihatinan. Nilai itu kemudian diadaptasi dalam bentuk lampah ratri: berjalan malam hari sebagai tirakat, tapa bisu, dan wujud syukur memasuki Tahun Baru Jawa ke 1959.
Lebih dari Sekadar Ritual
Diakui sebagai Warisan Budaya Tak Benda sejak 2015, Mubeng Beteng punya akar sejarah panjang. Konon, tradisi ini dimulai pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono II (1792-1828) dan dahulu hanya dilakukan oleh abdi dalem atas perintah raja. Kini, masyarakat umum pun bisa ikut, asal memenuhi syarat: berpakaian sopan, menjaga ketertiban, dan menghormati kekhusyukan.
Bunyi lonceng sebanyak 12 kali menjadi penanda dimulainya prosesi. Bacaan doa akhir tahun dan awal tahun pun dikumandangkan. Semua berjalan dalam satu tujuan: memasuki tahun baru dengan hati yang bersih dan batin yang tenang.
Menjaga Warisan, Menjaga Diri
Di tengah gegap gempita perayaan tahun baru Masehi yang penuh kembang api dan terompet, Mubeng Beteng hadir sebagai antitesis: sepi, sunyi, namun kaya makna. Ia mengajak siapa pun untuk berhenti sejenak dari hiruk pikuk dunia, lalu menoleh ke dalam diri.
Yogyakarta memang nggak pernah kehabisan cara untuk membuat kita merenung. Mubeng Beteng bukan cuma soal tradisi, melainkan tentang bagaimana manusia menyatu kembali dengan langkah, doa, dan semesta. Nah, dalam langkah-langkah sunyi itu, kita belajar, bahwa nggak semua perjalanan harus gaduh untuk jadi bermakna.
Hm, menarik juga ya filosofi Mubeng Beteng 1 Sura di Yogyakarta ini? Kamu tertarik untuk ikutan nggak, nih, Millens? (Arie Widodo/E05)