Inibaru.id – Berangkat kerja sejak pagi dan baru pulang selepas makan malam membuat Aulia Lestari terpaksa memberi anak semata wayangnya yang baru duduk di bangku SD sebuah gawai. Ponsel itu selalu berada di tas sekolah sang anak agar dia bisa memantau keseharian bocah 10 tahun itu.
"Jujur, saya terpaksa melakukannya karena harus memantau kondisinya setiap saat. Saya sudah meminta izin pada Bu Tya (gurunya) agar anak saya boleh bawa ponsel. Begitu tiba di sekolah, ponsel dititipkan, nanti diambil lagi pas pulang," tutur perempuan yang sehari-hari bekerja sebagai karyawan swasta di Jakarta ini.
Aulia mungkin bukan satu-satunya orang tua yang menerapkan cara ini. Keharusan bekerja yang membuat mereka absen dalam menjemput atau mengantar anak ke sekolah harus dibayar dengan fasilitas tambahan berupa gawai yang diperuntukkan khusus untuk buah hati mereka.
"Saya kurang sepakat dengan orang tua yang memberikan anaknya gawai sendiri sejak dini, apalagi ke sekolah. Sekarang saya malah melanggar aturan ini sendiri, meski terpaksa karena keadaan" terangnya, Selasa (17/6/2025). "Namun, saya pastikan ponsel itu nggak dipakai saat kegiatan belajar-mengajar!"
Memblokir Sinyal dengan Yondr
Perdebatan panjang tentang membawa ponsel ke sekolah memang nggak pernah usai. Di satu sisi, era teknologi memaksa siapa pun berdekatan dengan gawai. Namun, di sisi lain, banyak bahaya mengancam, yang disebabkan oleh keberadaan ponsel pintar ini di sekolah.
Larangan menggunakan ponsel telah berlaku di sejumlah sekolah di dunia. Portobello High School di Edinburgh, Skotlandia, mungkin menjadi salah satu sekolah yang berhasil menerapkannya. Dalam beberapa minggu terakhir, aturan ini telah diterapkan di sana.
Begitu bel masuk berbunyi, ratusan pelajar di sekolah tersebut akan mengantre untuk memasukkan ponsel mereka di Yondr, kantung terkunci yang bisa memblokir sinyal, yang hanya bisa dibuka di stasiun khusus yang diletakkan di aula sekolah.
Aturan yang telah berlaku sejak Mei 2025 lalu ini sengaja dibuat agar siswa fokus belajar. Selain itu, hal tersebut juga menjadi upaya sederhana untuk menumbuhkan kembali kebiasaan berinteraksi langsung di sekolah, sebagaimana dilaporkan BBC (6/6/2025).
Kantin Menjadi Lebih Ramai
Aturan meletakkan ponsel dalam kantung Yondr ini menjadi kebijakan resmi di dua sekolah menengah di Edinburgh, yakni Portobello High School dan Queensferry High School. Lewat kebijakan ini, ponsel tetap berada di saku atau tas siswa, tapi nggak bisa digunakan dengan sembarangan.
“Ponsel di kelas semakin sering jadi pesaing guru dalam merebut perhatian murid. Membatasi penggunaannya jelas menjadi langkah positif,” ungkap Joan Griffiths, Koordinator Pendidikan di Edinburgh.
Dukungan juga datang dari para orang tua. Survei sekolah menunjukkan, lebih dari 80 persen wali murid setuju kebijakan ini terus dilanjutkan lantaran memberikan dampak yang cukup positif, khususnya bagi anak-anak mereka.
Hal ini juga sejalan dengan keterangan dari kepala sekolah di kedua SMP tersebut. Mereka mencatat beberapa perubahan penting, yakni suasana kantin menjadi lebih ramai obrolan tatap muka, murid lebih aktif bermain di lapangan, dan suasana kelas jauh lebih kondusif.
Memerangi Cyber-bullying
Sistem kantung Yondr ini bukan berarti memutus total akses darurat. Ponsel tetap dibawa siswa, tapi kunci hanya bisa dibuka di stasiun yang berada di aula sekolah jika memang benar-benar mendesak. Sementara, untuk komunikasi penting, orang tua tetap bisa menghubungi sekolah.
Pihak sekolah menggaransi, selain menekan distraksi belajar, langkah sederhana ini berpotensi besar untuk memerangi cyber-bullying hingga kecanduan media sosial. Isu ini juga jadi alasan penerapan kebijakan serupa, meski dalam praktiknya belum seketat di Edinburgh, di Mataram, NTB.
Selain Mataram, sejumlah SD di Bandung, Cianjur, dan Tasikmalaya juga mencoba pendekatan serupa, lalu menyediakan nomor hotline untuk orang tua yang butuh menghubungi anaknya. Konsultan pendidikan Ina Liem mengungkapkan, larangan ini bisa diterapkan dengan sejumlah catatan.
“Larangan ponsel itu efektif di SD dan SMP. Tapi di SMA, sebaiknya ada fleksibilitas, karena di tingkat itu, ponsel juga sering dipakai belajar,” tuturnya, dikutip dari Kompas (2/4/2024).
Meniru Edinburgh, Mungkinkah?
Jika meniru Edinburgh, Indonesia tentu perlu menyesuaikan dengan kondisi. Kantong berkunci seperti Yondr memang bisa menjadi alternatif, tetapi butuh dana tambahan. Selain itu, pola pengawasan di sekolah juga harus diperkuat.
Bagi orang tua, jalur komunikasi tetap perlu dijamin, misalnya lewat hotline sekolah, sehingga mereka nggak khawatir jika butuh menghubungi anak secara mendadak, sebagaimana dikatakan Ahmad Fazani yang saat ini mengajar di sebuah sekolah swasta di Yogyakarta.
"Pembatasan penggunaan ponsel bukanlah tujuan, tapi hanyalah langkah awal. Menurut saya, esensi sebenarnya adalah untuk membangun literasi digital sejak dini, agar anak-anak bisa bijak memakai gawai," tuturnya via pesan suara, Selasa (18/6). "Jadi, diberi paham, bukan sekadar dilarang."
Edinburgh sudah membuktikan bahwa inovasi kecil bisa membawa suasana belajar lebih fokus dan hangat. Apakah Indonesia bisa meniru? Jawabannya bukan sekadar ya atau tidak, tetapi bagaimana kebijakan itu dirancang, diterapkan, dan diawasi bersama orang tua, guru, dan murid itu sendiri.
Kalau kamu, setuju nggak kalau sekolah memiliki kebijakan seperti kantung pemblokir sinyal ponsel ini, Millens? (Siti Khatijah/E07)
