Inibaru.id – Peranti membuat jamu yang terpahat pada relief Karmawibhangga di dinding kaki Candi Borobudur kian menegaskan bahwa jamu telah dikenal masyarakat Jawa sejak abad ke-8. Hingga kini, minuman herbal yang juga dikenal dalam praktik Ayurveda di India ini nggak bisa dilepaskan dari masyarakat kita, khususnya di Jawa.
Kendati sempat kurang diminati sejak pengobatan modern masuk negeri ini, nyatanya jamu tetap merupakan bagian nggak terpisahkan dari negeri ini. Industri jamu yang mulai berkembang di Indonesia pada 1974 menjadi pijakan baru untuk perkembangan jamu Nusantara.
Dari jamu gendong, yang biasanya dijajakan dengan berjalan kaki, jamu juga mulai dijual dengan mangkal di suatu tempat. Depot-depot jamu didirikan. Nggak hanya menjual jamu yang "dibuat pagi, dijual siang", para penjual jamu juga menyediakan jamu instan sasetan.
Belantika "perjamuan" memang telah bergeser. Penjual jamu, yang dulu didominasi perempuan, harus menyiapkan jamu dengan menggilas dan merebus bahan herbal di pawon selama berjam-jam, kini punya pilihan lain.
Andri, salah seorang pemilik depot jamu di Jalan Raya Sambiroto Kota Semarang, mengiyakannya. Nggak seperti mbok jamu gendong yang jemarinya menguning karena kebanyakan memeras kunyit, lelaki yang mendirikan depot jamu pada awal 2000-an itu tampak rapi jali.
Dibantu seorang karyawan, Andri melayani pembeli yang terus bergonta-ganti memesan jamu. Ada yang dibawa pulang, ada yang diminum di tempat. Untuk yang terakhir, terkadang jamu racikannya diberi tambahan telur ayam atau bebek.
"Telur itu selera konsumen," ungkap lelaki yang merantau ke Jawa pada 1995 tersebut. "Perempuan biasanya (memilih) telur ayam karena katanya telur bebek lebih amis, padahal kalau sudah dicampur jamu, ya, sama saja."
Lebih Banyak Pilihan
Sebagian orang nggak menyukai jamu karena rasanya pahit laiknya obat. Namun, anggapan itu agaknya sudah nggak relevan lagi saat ini. Andri mengatakan, sejumlah jamu modern di tempatnya memiliki rasa yang nyaman di mulut dan tetap manjur untuk pengobatan.
"Kesannya sekarang, jamu itu enak dan nggak pahit, sehingga bisa menyasar semua kalangan," terang Andri, yang juga mengatakan bahwa saat ini pelanggannya juga banyak datang dari kalangan anak muda.
Banyaknya pilihan di depot jamu milik Andri juga membuat banyak orang datang ke tempatnya. Nggak hanya untuk menambah daya tahan dan kebugaran, Andri meyakini ada beberapa jenis jamu yang bahkan bisa menyembuhkan berbagai penyakit kronis.
Lebih dari dua dekade berkecimpung dan bertahan di dunia perjamuan, kelihaian Andri dalam meramu jamu tentu saja nggak perlu dipertanyakan lagi. Jamu yang disajikan Andri biasanya diracik berdasarkan keluhan yang diungkapkan pelanggannya.
Dalam segelas jamu, Andri terkadang mengoplos beberapa jenis jamu saset yang banyak tersedia di pasaran. Laiknya seorang dokter atau tabib, dia akan mencampurkan dua hingga tiga macam jamu setelah mendiagnosis keluhan pelanggannya.
"Jadi, tergantung keluhan mereka apa, jamunya disediakan. Ada semua!” akunya.
Keampuhan jamu, lanjut Andri, bergantung pada keyakinan peminumnya. Jika orang tersebut nggak yakin, sakit yang dideritanya juga nggak bakal hilang.
Dia juga meyakini, jamu cenderung aman dikonsumsi karena selain ada takarannya, obat herbal juga bakal kembali netral di dalam tubuh kalau pun salah takaran.
"Berbeda dengan obat umum yang jika salah resep akan membahayakan bagi tubuh," kata dia.
Menyasar Semua Kalangan
Sore itu, depot jamu kepunyaan Andri tampak ramai. pembeli dari berbagai kalangan berdatangan silih berganti, mulai dari ibu-ibu hingga anak muda, bahkan anak-anak. Racikan jamu yang ditawarkan pun cukup beragam.
Dalam sehari, Andri mengaku, depot jamu dengan jenama “Warung Jamu Sambiroto” itu dikunjungi 50-100 orang dari berbagai usia dalam sehari. Buka mulai pukul 17.00 WIB hingga tengah malam, Andri memang sengaja menyasar semua kalangan.
Konsumen dewasa hingga lansia biasanya memesan jamu pegel linu, rematik, asam urat, dan tolak angin. Sementara, konsumen anak-anak, yang umumnya datang bersama orang tuanya, memesan jamu penambah nafsu makan, masuk angin, vitamin, hingga untuk cacingan.
“Banyak anak kecil yang malah minta orang tuanya ke sini," terang Andri di tengah kesibukannya melayani pembeli. “Mereka awalnya tertarik dari bungkusnya, kemudian suka karena jamu anak-anak rasanya manis.”
Zaman yang kian modern, tambah Andri, memang membuat orang semakin punya kemampuan menentukan jenis pengobatan yang paling diyakininya, termasuk dalam memilih obat herbal seperti jamu.
"Tanpa perlu menjelaskan (lebih detail terkait) jamu, mereka sudah tahu sendiri," terang Andri.
Terus, terkait dengan dampak ketergantungan pada jamu, dia pun mengibaratkannya dengan perilaku merokok dan meminum kopi yang jika dilakukan terus-menerus akan mencandu.
“Jadi, (dampak negatif kecanduan) itu tergantung kita, apakah kegiatan itu memang harus kita lakukan atau tidak,” tandasnya, lalu tersenyum.
Memilih ramuan herbal di depot jamu atau obat bermerek di apotek pada akhirnya memang nggak bisa dipaksakan. Asalkan meyakini itu mampu menyembuhkan, ya sudah. Yang penting, sebelum minum, jangan lupa baca dulu aturan pakainya! Akur? (Kharisma Ghana Tawakal/E03)