Inibaru.id – Belakangan ini meme yang berisi potongan gambar yang menunjukkan warga Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta bisa menghabiskan uang banyak untuk menyumbang saat kondangan viral di media sosial. Apakah hal ini memang benar-benar terjadi di sana?
Ternyata, budaya jagong atau kondangan yang cukup memberatkan, khususnya bagi kalangan kelas menengah ke bawah ini benar-benar terjadi di sana. Salah seorang warga Kalurahan Siraman, Wonosari bernama Retnoningsih mengakuinya.
“Kalau yang hajatan nggak begitu dekat, saya nyumbang Rp50 ribu. Kalau kenal dekat, apalagi sampai ngasih punjungan (undangan berbentuk makanan), mau nggak mau ngasih paling sedikit Rp100 ribu. Masalahnya kalau sudah musim hajatan, sehari bisa sampai lima tempat yang harus saya datangi,” ujar perempuan berusia 44 tahun tersebut sebagaimana dilansir dari Kumparan, (28/9/2023).
Gara-gara hal ini, cukup banyak warga Gunungkidul yang pada akhirnya berutang demi bisa menyumbang. Apalagi jika yang memberikan undangan orang yang dikenal dekat. Mereka mau nggak mau harus melakukannya.
“Banyak yang sampai utang kalau memang pas nggak punya duit. Mau gimana lagi. Ini ongkos sosial. Kalau sampai nggak nyumbang apalagi nggak datang. Nantinya pas ketemu di lain hari akhirnya sungkan,” jelasnya.
Mendapatkan Perhatian Bupati
Saking terkenalnya budaya menyumbang uang dalam jumlah banyak sampai memberatkan ekonomi warga ini, Bupati Gunungkidul Sunaryanta sampai ikut memberikan perhatian. Dia mengaku sedang mencari solusi untuk hal tersebut.
“Fenomena tingginya biaya hajatan, budaya nyumbang atau jagong di Gunung Kidul ini memang memberatkan masyarakat. Nanti kita kaji bagaimana caranya agar hajatan nggak memberatkan,” ucap Sunaryanta di Balai Kalurahan Wunung, Wonosari saat mengikuti acara Bimtek Pamong Kalurahan sebagaimana dilansir dari Kumparan, (27/9).
Sayangnya, meski pemerintah setempat terpikir untuk mengintervensi, kalau menurut pakar budaya sekaligus Kepala Pusat Studi Pedesaaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada Bambang Hudayana, hal tersebut nggak perlu dilakukan. Menurutnya, itu adalah wujud dari gotong royong yang memang biasa dilaksanakan masyarakat di kawasan pedesaan.
“Kalau mengintervensi saya pikir pemerintah nggak boleh ya. Soalnya itu hak warga untuk menyumbang banyak atau nggak. Tapi kalau mengedukasi agar nggak memberatkan, saya kira tidak apa-apa,” ungkap Bambang.
Memangnya, seperti apa edukasi yang bisa dilakukan? Sebagai contoh, jika ada hajatan, bisa digelar dengan cara sederhana, bukannya pesta mewah. Jadi, yang diundang juga hanya kerabat atau tetangga dekat saja. Makanan yang disajikan juga bisa dipilih agar tidak terlalu mewah sehingga tamu yang datang nggak perlu terbebani untuk harus menyumbang uang dalam jumlah besar.
“Nantinya bisa jadi standar baru di masyarakat, baik itu yang menggelar hajatan maupun yang menyumbang. Jadi nanti hajatan yang digelar nggak jadi ajang cari untung ataupun soal gengsi sosial,” sarannya.
Hm, sebenarnya fenomena musim hajatan yang bikin pusing banyak orang ini terjadi di hampir banyak tempat di Tanah Air ya, Millens? Kalau menurut kamu, apakah memang perlu ada aturan agar hal ini nggak lagi memberatkan perekonomian masyarakat? (Arie Widodo/E10)