Inibaru.id – Mujaeni pada Jumat, 24 April 2020, terhitung telah lima kali sudah terpaksa nggak melakukan salat Jumat karena adanya penyebaran Covid-19. Laki-laki yang setiap hari bekerja sebagai Staf Badan Penelitian dan Pengembangan Kemendagri Jakarta Pusat itu menjelaskan, selama pandemi corona masjid kantor nggak mengadakan lagi salat Jumat.
“Esensinya bukan masjidnya dilarang, tapi lebih ke pelibatan banyak orang yang tujuannya untuk memangkas penyebaran virus," kata Mujaeni, "Kita masih bisa pergi ke masjid selama tidak beribadah dengan melibatkan banyak orang, atau bisa dikatakan hindari berjemaah.”
Jakarta yang menjadi zona merah penyebaran virus membuat dia berhati-hati untuk pergi. Baginya arti beribadah sejatinya bisa dilakukan di banyak tempat, masjid hanya salah satunya. Dia mengartikan masjid sebagai tempat untuk bersujud, dan bersujud bisa di manapun asal memenuhi syarat-syarat tertentu.
Dia setuju dengan pendapat yang mengatakan fenomena ini (orang-orang meributkan masjid tutup) membuktikan bahwa ritual itu rapuh. Menurutnya, selama ini banyak orang yang larut dalam hal ritual. Namun nilai yang terkandung di dalamnya justru terkikis. Laku ibadah nggak lagi memberi makna dan ajaran pada kehidupan.
Muja pun mengganti salat Jumat dengan salat zuhur sebagaimana yang dilakukan oleh mahasiswa jurusan Hospitality (pariwisata) STIPRAM Yogyakarta, Iswandi Mahdar. Masjid Al Barokah yang berdekatan dengan tempat dia tinggal di asrama Halmahera Timur, Maluku Utara yang beralamat di Umbulharjo, juga jadi lebih sepi.
“Iya, nggak Jumatan, zuhuran di asrama aja. Dengan sikon sekarang banyak pelajar yang pulang dan kontrakan asrama dan masjid kian sepi. Meski gitu saya masih sering ke masjid untuk berjemaah. Kebetulan dekat di asrama dan itu jarak jemaahnya satu keramiklah, ya kurang lebih 3-4 jengkal,” jelas dia.
Berbeda dengan Muja dan Iswandi, Warga Desa Ngentakrejo, Lendah, Kulon Progo, DIY, Romanudhin mengaku masih bisa mengikuti salat Jumat. Ini karena didukung letak masjid yang terhitung dekat dengan rumah. Namanya Masjid Baitul Abror, jaraknya sekitar 200 meter dan bisa ditempuh dengan jalan kaki.
Meski masjid-masjid di daerahnya masih buka, ada peraturan-peraturan khusus seperti cuci tangan, pakai masker, dan bawa sajadah sendiri.
Mayoritas warga di desa Roman yang mayoritas petani juga berpengaruh terhadap mobilitas masyarakat setempat dalam bepergian atau sekadar mencari tempat ibadah. Petani jarang bepergian jauh, masjid bagi warga pada masa pandemi ini menurutnya lebih sebagai simbol agama.
“Kalau saat pandemi ini mungkin arti masjid sekedar simbol agama mungkin. Ada tapi tidak ada aktivitas keagamaan di dalamnya,” tutur laki-laki yang sehari-harinya bekerja di balai desa mengurusi akuntansi ini.
Meski begitu, Roman merasa di masa pandemi jadi lebih bisa bersyukur dan belajar hal baru yang mungkin disepelekan seperti virus. Dia juga lebih ngeh dengan hadis yang berbunyi kebersihan sebagian dari iman. Makanya, di masa pandemi ini, lebih banyak jaga kebersihan ya, Millens! (Isma Swastiningrum/E05)
Baca Juga:
Transformasi Dugderan, Dug Tanpa Der!