Inibaru.id - Dengan latar belakang pohon beringin yang disorot lampu warna-warni, para penampil melancarkan aksinya. Ada pembacaan macapat, tari tradisional, dan beberapa penampilan lain yang turut memeriahkan Sura Wiwitan #6, Jumat (21/8/2020) malam.
Terus terang, saya nggak begitu mengenal para penampil ini. Tapi, sebagai penikmat acara gratisan, saya pikir gelaran tahunan ini sangat menarik untuk diikuti dari awal sampai akhir.
Ya gimana nggak menarik, acara yang bertempat di Taman Budaya Raden Saleh (TBRS) Semarang, Jawa Tengah, ini banyak mendatangkan pegiat seni di berbagai bidang dan komunitas. Sastra, tari, hingga musik, dihadirkan di acara yang digelar setiap awal Sura ini.
Sesuai namanya, acara ini merupakan yang ke-6 dari acara tahunan guna memperingati Malam Satu Sura. Acara yang dibentuk oleh berbagai sukarelawan peduli sendhang ini juga bertujuan mengajak masyarakat untuk kembali menggunakan dan merawat Sendhang Mintalaya bersama-sama.
Wishnu Kusuma, selaku ketua acara, mengaku acara ini awalnya dibentuk karena rasa prihatin teman-teman sukarelawan terhadap sendhang yang sudah lama terbengkalai. Inilah kenapa, tema yang diambil buat acara ini Ngrawat Sendhang, Ngawe Kadang.
“Ya, kalau tujuan awal, sih, menyadarkan masyarakat, biar mereka mau menggunakan dan merawat sendhang ini bersama-sama. Sudah lama terbengkalai,” ungkap Wishnu.
Dia menambahkan, dalam beberapa tahun terakhir, yang banyak menggunakan sendhang justru hewan-hewan seperti kalelawar, ikan nila, kodok, hingga biawak.l
Di sisi lain, ada hal unik yang juga saya temukan dalam acara ini, yakni para penampilnya. Selain anak muda, ada juga sekumpulan anak kecil yang ikut meramaikan acara tersebut.
Menurut pengakuan Wishnu, anak-anak ini merupakan warga Tambak Rejo. Dia berpendapat, penting juga untuk menjadikan acara tersebut sebagai salah satu media hiburan bagi warga yang beberapa waktu lalu harus merasakan penggusuran.
Nah, oleh karena itu, Wishnu merangkul anak-anak dari Tambak Rejo untuk ikut berpartisipasi dalam acaranya itu.
“Harapan saya sih kami bisa mendampingi warga sana biar bisa hidup lagi, Mas,” kata Wishnu.
Sementara, di depan panggung yang berupa karpet merah, para penonton duduk lesehan. Acara ini memang dibikin tanpa ada aturan tempat duduk. Jadi, penonton menyebar sesuai selera dan kenyamanan masing-masing.
Kendati demikian, penonton cukup tertib, kok. Mereka juga menaati protokol kesehatan seperti memakai masker dan menjaga jarak.
Kemudian, acara ditutup dengan ritual adus sendhang (mandi di sendang). Dalam ritual ini, para seniman muda bersama-sama gebyuran di sendhang yang ada di TBRS. Nggak cuma seniman muda, penonton yang hadir pun diperbolehkan ikut kalau memang tertarik.
Menurut saya, acara semacam ini sangat diperlukan di Semarang. Selain nguri-uri budaya, acara gratis kopi dan camilan ini cocok untuk sobat miskin macam saya! Ha-ha. (Bayu N/E03)