Inibaru.id – Kalau kamu pernah datang ke hajatan di pedesaan Jawa Tengah, pasti pernah melihat segerombolan pemuda-pemudi yang rapi mengenakan seragam, sigap membagikan makanan, minuman, hingga mencuci piring tanpa disuruh. Yang mereka lakukan itu adalah tradisi Jawa bernama sinoman.
Di Kabupaten Semarang, tradisi ini masih bertahan meski mulai pudar dan digantikan dengan layanan wedding organizer (WO) atau katering. Padahal, banyak sekali nilai luhur yang bisa didapatkan dari tradisi ini.
Sejarah dan makna tradisi sinoman
Meski belum bisa dipastikan kebenarannya, sejumlah pihak meyakini sinoman sudah eksis sejak berabad-abad silam. Dalam bahasa Jawa, “sinoman” artinya “para pemuda”. Makanya, yang melakoni aktivitas ini biasanya adalah para pemuda-pemudi yang tergabung dalam Karang Taruna setempat.
Sinoman biasanya dilakukan saat ada acara penting seperti pernikahan, khitanan, atau acara tahlilan. Prinsipnya sukarela. Tapi biasanya tuan rumah memberi imbalan berupa makanan, minuman, atau rokok.
Meski nggak bernilai rupiah, nilai sosialnya luar biasa besar. Di kegiatan inilah, para pemuda bisa saling berinteraksi, hingga menjalankan silaturahmi dengan keluarga atau tetangga yang belum tentu bisa dilakukan setiap hari.
Sinoman di era modern: bertahan atau meredup?
Sayangnya, nggak bisa dipungkiri, partisipasi generasi Z untuk melakukan aktivitas ini mulai menurun. Selain karena kesibukan di dunia sekolah atau dunia kerja, arus urbanisasi, hingga semakin beragamnya layanan untuk mengadakan hajatan membuat sinoman nggak lagi benar-benar diperlukan. Padahal, tanpa keberadaan sinoman, hajatan jadi kehilangan “gedengremboko” alias nuansa kekeluargaannya.
Untungnya, beberapa pemuda seperti Rangga yang tinggal di Desa Candigaron, Kecamatan Sumowono, Kabupaten Semarang mengaku masih dengan senang hati diminta untuk melakukannya.
“Saya bangga bisa ‘nyinom’ di hajatan salah seorang paman saya waktu libur kuliah kemarin. Sambil memakai seragam karang taruna bareng teman-teman, bisa saling bercanda atau sharing apa pun seharian,” ungkap laki-laki berusia 21 tahun itu pada Rabu (11/6/2025).
Lebih dari itu, dia juga bisa mengenal tetangga atau keluarga yang jarang dia sapa semacam ini.
“Sering disapa bapak-bapak atau ibu-ibu lalu mereka cerita kalau mereka masih punya kaitan keluarga dengan saya. Jadi mengenal mereka akhirnya,” lanjutnya.
Nggak bisa dipungkiri, sinoman memang semakin jarang dilakukan. Tapi, bukan berarti, kearifan lokal yang satu ini masih bisa ditemukan di kawasan pedesaan. Jadi, kalau kamu kebetulan hadir di hajatan yang masih memakai tradisi ini, beruntung banget masih bisa jadi saksi hidupnya, Millens. (Arie Widodo/E05)