Inibaru.id – Kehebohan Rara Istiati Wulandari atau Mbak Rara, si pawang hujan MotoGP Mandalika masih jadi bahasan warganet Indonesia. Aksinya dianggap sukses menyajikan hiburan di tengah balapan sekaligus menunjukkan kearifan lokal yang memang masih dipercaya di negara ini.
Baru-baru ini, warganet kembali menemukan hal menarik yang bisa dibahas dari Mbak Rara nih, Millens. Warganet dibuat tepok jidat dengan profil akun LinkedIn milik Rara. Di sana tertulis dia sebagai Cloud Engineer at MotoGP Mandalika.
Beberapa menertawakan, tapi ada juga yang bijak menyikapi hal ini. Seperti diketahui, cloud engineer adalah sebuah pekerjaan yang bergelut dalam dunia cloud computing meliputi berbagai aspek seperti CPU, RAM, software, network speed, storage, hingga OS. Sedangkan, kalau dilihat Rara sama sekali nggak menggunakan teknologi apa pun untuk membantu pekerjaannya. Jadi ya, bikin orang bingung.
Di luar usaha Rara untuk menamai pekerjaannya dengan istilah mentereng, sepertinya bakal menarik deh kalau kita membahas sejarah eksistensi pawang hujan di Indonesia. Sudah sejak dari dulu banget profesi ini ada di tengah masyarakat.
Hingga saat ini, di beberapa tempat, keberadaan pawang hujan dalam pergelaran skala besar atau hajatan keluarga memang masih banyak ditemui. Mereka dianggap dapat diandalkan untuk mengundang atau menghalau hujan. Dari dulu, masyarakat Indonesia percaya bahwa cuaca bisa di-request.
Menurut budayawan Betawi Yahya Andi Saputra, pawang hujan merupakan profesi yang dikenal masyarakat Betawi sejak lama, jauh sebelum penjajah Belanda datang ke Indonesia.
“Yang begini sudah muncul jauh-jauh hari. Zaman Hindu-Buddha, zaman sebelum Islam. Jadi sudah cukup tua ilmu perdukunan ini,” ujar Yahya.
Jasa ini bahkan semakin sering dipakai seiring bertambahnya masyarakat Betawi yang memeluk Islam. Hajatan layaknya sunatan, pernikahan, hingga perayaan hari besar Islam dikondisikan cuacanya dengan menyewa pawang hujan. Mereka bakal memindahkan awan hujan ke tempat lain dengan doa-doa Islami dan sesajen.
Yahya menambahkan, sesajen yang digunakan yaitu bekakak ayam, nasi kuning, bisong, ayam, telor bebek, telor ayam, kopi pahit, pisang raja, kembang tujuh rupa, dan kue apem.
Yang menarik, pawang hujan Betawi atau yang dikenal sebagai Dukun Pangkeng ini didominasi perempuan paruh baya.
Pawang Hujan dalam Tradisi Jawa
Nggak hanya dikenal di Betawi, tradisi pawang hujan juga ada di Jawa. Bedanya, orang nggak harus berguru atau mempelajarinya untuk menangkal hujan. Ritual sederhana yang bisa dilakukan adalah melemparkan celana dalam perempuan ke atas genteng. Nggak cuma itu, ada pula yang melempar cabai dan bawang tusuk. Cara-cara ini banyak tercantum di dalam primbon lengkap dengan mantranya.
Meski begitu, tetap saja ada sosok yang memang dianggap benar-benar ahli dalam mengendalikan hujan. Selain mengurus sesajen dan membaca matra, pawang hujan juga melakukan ritual lain seperti berpuasa atau tirakatan.
“Sudah ada perjanjian nenek moyang kalau mantra ini dibacakan mereka akan membantu,” ungkap budayawan Jawa Prapto Yuwono.
Pawang Hujan di Tempat Lain di Indonesia
Di Bali, pawang hujan dikenal dengan sebutan Nerang Hujan. Sementara itu, di Riau, pawang disebut sebagai Bomoh. Sebagaimana pawang hujan di adat Betawi atau Jawa, pawang-pawang itu juga laris disewa saat ada hajatan.
Lantas, mengapa jasa ini tetap laku di zaman modern penuh dengan teknologi tinggi seperti sekarang ini? Hal ini disebabkan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia yang masih memegang teguh adat istiadat. Nah, meskipun aksi mereka terlihat sebagai hal yang nggak rasional, pawang hujan masuk dalam adat yang layak untuk terus dilestarikan.
Selain itu, keberadaan mereka toh kerap dianggap sukses membantu melancarkan hajatan. Jadi, wajar deh kalau sampai sekarang, Mbak Rara dan pawang-pawang hujan lain nggak pernah sepi job.
Kalau kamu, percaya nggak dengan kesaktian para pawang hujan, Millens? (Kum,Med/IB09/E05)