Inibaru.id - Banyak yang suka, banyak pula yang nggak suka dengan adanya tukang parkir di sekitar kita. Yang suka tentunya bakal merasa tenang karena kendaraannya aman dijaga oleh juru parkir.
Sementara yang nggak suka bisa saja karena merasa tempat itu nggak memerlukan penjagaan tukang parkir. Ada juga yang sebal dengan juru parkir karena memasang tarif yang mahal tapi dirinya nggak menjalankan tugasnya dengan baik.
Baca Juga:
Adakah Tukang Parkir di Luar Negeri?Saking mahalnya tarif parkir, sampa-sampai di tembok kampus saya ada tempelan poster yang menggelitik. "Fotokopi Rp500, parkirnya Rp2.000". Begitulah kalimat protes para mahasiswa berkantong cekak menghadapi tukang parkir yang ngetem di tempat fotokopi.
So, terbayang kan seperti apa kontroversi keberadaan tukang parkir di Indonesia ini? Lalu, kamu pernah terpikir nggak sih sejak kapan sebenarnya profesi tukang parkir eksis di Tanah Air?
Bermula dari Jakarta
Ternyata, profesi yang belum tentu bisa kamu temui di luar negeri ini bermula dari Jakarta, Millens. Goodnewsfromindonesia (24/5/2021) menulis, pada 1950-an, sudah ada pengelola parkir di pinggir jalan Jakarta.
Alasannya, saat itu sudah banyak pengguna kendaraan bermotor namun belum ada undang-undang yang mengatur tentang perparkiran. Masyarakat kemudian membuat jasa parkir di pinggir jalan yang saat itu disebut dengan istilah “jaga otto”.
Beda dengan zaman sekarang dimana juru parkir bisa kamu temui di mana-mana, pada masa itu lahan parkir seringkali berada di permukiman orang Eropa atau Tionghoa. Biasanya mereka dikenal memiliki level ekonomi lebih tinggi dari rakyat sekaligus sudah memiliki kendaraan bermotor.
Lahan-lahan parkir tersebut bisa ditemui di kawasan Sudirman, Jalan Thamrin, Glodok, Harmoni, Jakarta Kota, serta Pasar Baru. Kawasan-kawasan tersebut dikenal sebagai tempat perdagangan atau perkantoran yang sangat ramai.
Barulah saat Jakarta menggelar Asian Games 1962, jasa perparkiran mulai berubah menjadi seperti yang sekarang kita kenal, yaitu dikuasai organisasi masyarakat setempat. Sistem inilah yang kemudian berkembang di kota-kota lain di Indonesia.
Memang, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI kemudian memiliki pengelolaan parkir resminya sendiri di bawah naungan PT Parkir Jaya semenjak 1972. Tapi, tetap saja perusahaan ini nggak bisa menggeser hegemoni jasa parkir yang sudah dikelola organisasi masyarakat. Pada akhirnya, perusahaan ini pun kalah dan dibubarkan.
Untung Besar, tapi Nggak Bikin kaya
Kalau kamu cermati, banyak meme-meme di media sosial yang menyebut profesi tukang parkir bisa membuat seseorang mendapatkan uang banyak. Hal ini memang ngga salah, Millens. Masalahnya, meski mendapatkan uang banyak, para juru parkir ini juga harus setor ke pengelola parkirnya.
Hal ini diungkap oleh orang juru parkir liar yang beroperasi di Gandaria City, Margono. Laki-laki yang kini berusia 48 tahun ini menjelaskan jika dalam sehari jaga parkir (dari pukul 06.00 WIB – tengah malam) dia bisa memegang uang minimal Rp 2,3 juta.
Sayangnya, dia harus menyetor uang ke pengelola lahan parkir sebesar Rp 1,7 juta. Sisa uangnya pun harus dia bagi dengan lima rekannya. Alhasil, dia hanya mendapatkan pendapatan sekitar Rp150 ribu setiap hari.
“Kotornya itu kita terima Rp150 ribu, itu sudah sama makan. Bersihnya Rp80- Rp90 ribu per hari,” ceritanya sebagaimana dilansir dari Liputan6, (11/11/2019).
Melihat banyaknya uang setoran dari para tukang parkir ini, wajar jika lahan parkir di kota-kota besar terkadang menjadi rebutan pengelolanya. Wajar pula jika kita semakin sulit menemukan tempat-tempat keramain seperti kafe, restoran, atau toko-toko lainnya yang nggak “dikuasai” oleh juru parkir.
Kalau kamu lebih suka tempat yang ada tukang parkir sehingga menjamin keamanan kendaraanmu atau lebih memilih tempat yang nggak ada tukang parkirnya, nih, Millens? (Arie Widodo/E10)