Inibaru.id - Malam itu langit mendung, tapi tetap punya keindahannya sendiri. Dalam suasana yang hangat, Kencana Resto & Garden di Desa Pekalongan, Kecamatan Winong, Kabupaten Pati, diubah menjadi panggung pentas Ki Djaswadi, maestro kentrung yang telah menempuh perjalanan panjang berkesenian.
Ki Djaswadi tampil memukau, menjadi gong dari residensi budaya selama 14 hari di Pati yang digelar untuk pemanasan menyambut Pekan Kebudayaan Nasional (PKN) 2025. Layaknya ritual penyemaian, "fase rawat" itu adalah upaya memelihara warisan budaya agar lebih matang tahun depan.
Sedikit informasi, residensi budaya di Pati diikuti para peserta dari pelbagai wilayah, termasuk di dalamnya Kolektif Resdon dari Bogor, Wayang Suket Indonesia dari Tuban, dan seorang produser dari Kampung Budaya Piji Wetan, Kudus.
Selama residensi, para seniman tersebut berkumpul untuk menciptakan sebuah kolaborasi kesenian, meracik berbagai unsur budaya untuk menciptakan sebuah pementasan yang berakar dari kentrung, dengan Ki Djaswadi sebagai pementornya.
Magis sang Maestro
Bagi para peserta residensi, keberadaan Ki Djaswadi memang nggak tergantikan. Dia adalah seniman multitalenta yang patut dianut, karena selalu berhasil menjadikan seni dalam laku keseharian. Hal ini sebagaimana dikatakan Rama, kurator seni yang juga merupakan salah seorang peserta residensi.
“Beliau adalah sosok yang jarang ada pada zaman sekarang. Lebih dari seniman, Ki Djaswadi merupakan cendekiawan dalam seni yang menyimpan dan menghidupkan jiwa zaman,” seru Rama kepada Inibaru.id belum lama ini. Matanya berbinar, menunjukkan kekagumannya.
Selama 14 hari menjalani residensi, Rama dkk bak murid yang tersihir oleh magis dari sang maestro. Mereka tampak menyerap tiap laku, tutur, dan wejangan yang diberikan Ki Djaswadi, untuk dibawa pulang sebagai inspirasi dari karya-karya mereka mendatang.
Setali tiga uang, rasa kagum juga ditunjukkan masyarakat Desa Pekalongan. Seusai pementasan, Kepala Desa Pekalongan Ukhwatur Roi mengatakan, Ki Djaswadi adalah berkah bagi Kabupaten Pati. Keberadaannya bukan hanya melambangkan seni, tapi juga keteladanan yang luhur.
“Menyaksikan Ki Djaswadi tampil di panggung itu seolah membaca kitab suci kehidupan,” ujar Roi, suaranya penuh keharuan. "Selalu ada pelajaran baru yang saya temukan, seperti mutalaah kitab yang tak pernah membosankan, karena selalu menyimpan hikmah yang segar."
Mewariskan Seni Kentrung
Apa yang dikatakan Roi nggak berlebihan. Pementasan malam itu memang berhasil menyihir penonton yang hadir. Lebih dari itu, pertunjukan yang ditampilkan Ki Djaswadi juga membawa kembali ingatan mereka pada kenangan tentang kesenian klasik yang sarat akan harmoni antara seni tutur, musik, dan laku.
Di tengah modernitas zaman yang semuanya serba digital, pertunjukan Ki Djaswadi tentu saja menjadi angin segar untuk masyarakat yang rindu akan budaya masa lalu yang mungkin kini sudah sangat jarang ditemukan, lengkap dengan nilai-nilai luhur yang ditampilkan di atas panggung.
Pementasan kentrung ini ibarat jembatan penghubung antara masa lalu dengan sekarang, yang kemudian menggulirkan estafet seni kentrung kepada generasi muda yang akan hidup pada masa mendatang. Nggak hanya menjaga, Ki Djaswadi dkk juga berhasil menghidupkan, menuntun, dan mengawalnya sejauh ini.
Sekarang tinggal kita sebagai anak muda yang memutuskan, apakah akan memilih menutup mata atau menerima warisan ini sebaik-baiknya sebagai bagian dari budaya yang akan kita lestarikan pada hari-hari berikutnya? (Imam Khanafi/E03)