Inibaru.id – Selama ini mungkin kita hanya mengenal batik sebagai teknik melukis kain dengan canting berisikan malam yang dicairkan, lalu dicelup ke dalam pewarna tekstil untuk mendapat corak yang diinginkan. Namun, rupanya teknik membuat corak batik nggak cuma dengan cara itu.
Batik jumputan yang konon bermula di Solo, Jawa Tengah, telah lama mengembangkan teknik ikat celup. Metode ini nggak jauh berbeda dengan teknik pewarnaan tie dye yang biasa digunakan generasi "berbunga" a.k.a kaum hippies untuk membuat corak warna-warni pada fesyen ngejreng mereka.
Teknik ikat celup belakangan banyak diminati masyarakat, khususnya anak muda. Corak spiral yang simetris, bunga-bunga, dan bahkan abstrak dengan warna-warni yang beragam menjadi alasan anak muda menggandrungi jumputan.
Selain memakai, tak sedikit anak muda yang kemudian tergerak untuk mencoba teknik yang terbilang gampang itu. Ini tampak dari antusiasme masyarakat pada sejumlah workshop tie dye yang kerap diselenggarakan belakangan ini, nggak terkecuali di Semarang.
Animo anak muda begitu tampak dalam sebuah workshop teknik tie dye yang diinisiasi Bejana Karya pada Sabtu (23/2/2019) lalu. Bertempat di Disenja Rooftop Impala Space, Spiegel Bar & Bistro, Kota Lama Semarang, workshop bertajuk “Semarang Kabeh Iso Nyelup” itu dihadiri nggak kurang dari 60 peserta.
Koordinator Bejana Karya Ippe mengatakan, pihaknya sengaja menggelar workshop teknik ikat celup agar masyarakat lebih familiar dengan produk atau teknik semacam itu.
"Ya biar Semarang punya intelectual property (IP) yang dikenal, nggak melulu oleh-olehnya bandeng, lunpia, atau wingko," kelakarnya.
Menggandeng Keikat, jenama batik di Semarang yang mengembangkan teknik tie dye, Bejana Karya bersama para peserta pun mempraktikkan teknik tie dye atau ikat celup.
Pendiri Keikat Nur Rosita Tri Kusumawati sedang menjelaskan cara membuatpola pada kain yang akan diwarnai. (Inibaru.id/ Ida Fitriyah)
Acara yang hampir sebagian besar diikuti anak muda itu dipandu langsung oleh Nur Rosita Tri Kusumawati, pendiri Keikat. Semula, Ita, sapaan akrab Rosita, memulai dengan mengenalkan teknik ikat celup. Lalu, dia melanjutkannya dengan memberi contoh cara membuat motif pada kain dengan teknik itu.
Sekilas terlihat, tie dye bukanlah teknik yang sulit dipelajari. Kain yang akan dibatik hanya perlu diikat pada bagian tertentu, lalu dicelup untuk mendapatkan motif yang diinginkan.
Ita menuturkan, ada dua motif dasar dalam ikat celup, yakni spiral dan lipit. Untuk membuat motif spiral, kamu hanya perlu mengambil bagian tengah kain kemudian memutarnya sehingga kain tergulung melingkar sesuai dengan putaranmu.
Salah seorang peserta workshop tie dye Semarang Kabeh Iso Nyelup sedang mengikat kain yang sudah dibentuk dengan teknik lipit. (Inibaru.id/ Ida Fitriyah)
Sementara, untuk motif lipit, kamu hanya perlu melipat kain sesuai dengan keinginanmu. Eh, tapi jangan asal lipat! Gunakan teknik seperti membuat kipas-kipasan kertas, tapi dengan garis yang rapi dan simetris.
Ita mengatakan, teknik lipit jamak dipakai di Indonesia. Ini berbeda dengan tie dye ala kaum hippies di Amerika yang lebih menyukai motif spiral.
Jika pola sudah dibentuk, perempuan 23 tahun lulusan Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Surakarta tersebut melanjutkan, langkah berikutnya adalah mengikat kain.
"Untuk mengikat bisa dengan karet, bisa juga pakai tali rafia bila cukup lebar," ujarnya.
Para peserta Semarang Kabeh Iso Nyelup melakukan proses pewarnaan batik ikat celup. (Inibaru.id/ Ida Fitriyah)
Langsung Praktik
Puas dengan teori yang diberikan, para peserta pun kemudian langsung mencoba mempraktikkan teknik ikat celup tersebut. Secara berkelompok terdiri atas 2-4 orang, mereka pun mencoba berkreasi semaksimal mungkin.
Proses pewarnaan menjadi sesi paling menarik dalam workshop ini. Sebelum diwarnai, kain terlebih dahulu direndam dalam air bersih, lalu dicelup ke dalam cairan waterglass, baru diwarnai.
"Cairan ini (waterglass) berfungsi untuk mengunci warna," terang Ita.
Kain yang sudah dicelup di pewarna dikeringkan dengan cara digantung. (Inibaru.id/ Ida Fitriyah)
Puas bermain warna, proses selanjutnya adalah mengeringkan kain. Butuh waktu sekurangnya sehari semalam agar kain betul-betul kering. Setelah itu, kain yang sudah bermotif dicuci. Namun, saran Ita, jangan memakai detergen biar nggak luntur.
Tak hanya jumputan di Jawa, teknik tie dye juga berkembang dalam pewarnaan kain di sejumlah wilayah di Indonesia. Masyarakat Kalimantan mengenal Batik Sesirangan, sementara orang Palembang menamainya Kain Pelangi.
Wah, wah, cukup gampang, kan, Millens? Hm, segera cari kaus polos atau kain yang berwarna cerah deh, lalu coba bareng-bareng, yuk! Lumayanlah untuk membunuh waktu luang! (Ida Fitriyah/E03)