Inibaru.id - Dalam kalender Jawa, kini kita berada di bulan Mulud atau Rabiul Awal dalam penanggalan Hijriyah. Tapi, tradisi di bulan sebelumnya, yaitu Sapar masih memberikan kesan yang mendalam bagi saya. Tradisi itu adalah Rebo Wekasan atau Pungkasan yang dilaksanakan di Kabupaten Kudus.
Buat yang belum tahu, Rebo Wekasan merupakan hari Rabu terakhir di bulan Sapar atau Safar. Masyarakat Jawa beranggapkan di hari itu banyak bencana atau bala yang diturunkan ke bumi. Nah, agar kejadian buruk tidak menimpa, mereka menyelenggarakan serangkaian tradisi sebagai wujud permohonan perlindungan kepada Yang Maha Kuasa.
Saya kala itu sengaja datang dalam acara Rebu Wekasan yang diselenggarakan di sekitar jalan dan gang depan Masjid Wali Al-Makmur, Desa Jepang, Kecamatan Mejobo, Kabupaten Kudus. Saya membaur dengan para warga di sana untuk menyaksikan Kirab Air Salamun dalam Rebo Wekasan.
Menurut informasi, Kirab Air Salamun sudah ada sejak tahun 2009. Untuk peringatan Rebo Wekasan sendiri di desa tersebut malah sudah sejak 1900-an.
"Rebo wekasan di Jepang sudah ada sejak lama, sekitar tahun 1900-an. Acara tersebut digelar untuk berdoa kepada Allah supaya dilindungi dari bala dan musibah di hari Rabu pungkasan," kata Ketua Panitia Pelaksana, Nur Aziz pada Selasa (12/9/2023).
Air Keselamatan
Lalu, apa sebenarnya air salamun itu? Air salamun bermakna air keselamatan, Millens. Air tersebut diambil dari sumur yang ada di Masjid Wali Al-Makmur. Sumur dan masjid tersebut merupakan peninggalan Sunan Kudus atau Raden Ja'far Shodiq.
Selain memohon keselamatan, Kirab Budaya Air Salamun juga menjadi sarana mengajarkan masyarakat untuk mencintai budaya di daerahnya. Sembari ngalap berkah air salamun (keselamatan) di Rabu Wekasan, mereka tampak antusias dan semangat mengikuti rangkaian acara dari awal sampai akhir.
Setiap kelompok peserta kirab membawa air salamun. Tak cuma itu, mereka juga memboyong gunungan berukuran besar berisikan hasil bumi. Setelah mengelilingi desa, saya dan warga lainnya menyaksikan persembahan seni budaya.
Sudah bisa saya terka, suasana kian meriah ketika para warga unjuk gigi dalam menampilkan pertunjukkan. Terlihat jelas mereka merasa terhibur, gembira, rukun dan membaur dalam tradisi Rebo Wekasan.
Mencintai Budaya
Saat menyaksikan ramainya tradisi Rebo Wekasan tersebut, saya melihat banyak sekali anak-anak yang berpartisipasi. Tanpa canggung mereka melakukan persembahan budaya lengkap dengan kostum dan riasan yang menarik. Tak mau ketinggalan momentum, saya pun mengumpulkan banyak potret keseruan anak-anak itu dalam menyalurkan bakatnya.
Rupanya, partisipasi para generasi muda ini juga disyukuri oleh Kepala Dinas Budaya dan Pariwisata (Disbudar) Kabupaten Kudus, Mutrikah. Dia bangga dengan para anak yang meski hidup di zaman modern tak lupa dengan peninggalan leluhur.
"Kirab Rebo Wekasan ini dapat menjadi sarana edukasi bagi anak-anak dan generasi muda untuk menumbuhkan rasa cinta terhadap budaya lokal," ungkapnya.
Perempuan yang akrab disapa Tika itu menilai keterlibatan anak-anak dalam tradisi desa itu bisa menjadi contoh bagi desa lain. Dampak positif berkelanjutan dari hal adalah adanya usaha untuk memajukan dan melestarikan kearifan lokal di daerah.
"Ini merupakan kesadaran yang perlu ditumbuhkan sejak dini. Sehingga, masyarakat dan pemerintah bisa kompak dalam mengembangkan potensi desa, menjadikan daya tarik bagi wisatawan," tandasnya.
Rebo Wekasan adalah tradisi untuk meminta keselamatan. Menurut saya, tradisi ini akan bertahan dalam waktu yang lama jika antusias para generasi muda selalu seperti yang saya lihat kemarin: aktif mengambil peran. (Hasyim Asnawi/E10)