Inibaru.id – Kalau kamu main ke Pantai Baruna Kota Semarang, coba deh perhatikan jalanan sebelum menuju pantai tersebut. Di tepi Sungai Banjir Kanal Barat, ada sebuah monumen yang ada di semak-semak.
Monumen tersebut adalah Chinkon no Hi atau Monumen Ketenangan Jiwa.
Sekilas, monumen yang ada di wilayah Kelurahan Bandarharjo, Semarang Utara tersebut seperti monumen pada umumnya. Tapi, kalau mendekat, kamu bakal menemukan fakta kalau tulisan pada monumen tersebut didominasi huruf kanji Jepang. Tunggu, dulu, mengapa memakai aksara Jepang, ya?
Usia monumen ini sudah 27 tahun karena diresmikan pada 14 Oktober 1998 oleh Wali Kota Madya Semarang saat itu, Soetrisno Soeharto. Pembangunannya diinisiasi oleh pemerintah dan warga Jepang sebagai bentuk penghormatan dan permohonan maaf atas kekerasan yang terjadi selama masa pendudukan Jepang di Indonesia, khususnya dalam Pertempuran Lima Hari di Semarang (14-19 Oktober 1945).
Menurut Eka Setiawan, pemerhati sejarah Semarang dan alumni International Visitors Leadership Program (IVLP) Amerika Serikat 2025, Chinkon no Hi bukan sekadar monumen biasa. Monumen ini punya simbol penting dalam sejarah perjuangan bangsa di Kota Semarang.
“Ini bukan sekadar tumpukan batu, tapi pengingat bahwa masa lalu bangsa ini pernah begitu getir,” ujarnya sebagaimana dinukil dari Suaramerdeka, Rabu (25/6/2025).
Menurut yang Eka tahu, selama pendudukan Jepang dari 1942 hingga 1945, rakyat Indonesia di Semarang dipaksa menjadi romusha, bekerja keras tanpa upah di bawah ancaman senjata. Tak sedikit dari mereka yang kehilangan nyawa, dihantam oleh kekerasan dan penderitaan.
Selain mengenang korban masa penjajahan dari sisi rakyat Indonesia, monumen ini juga dibuat untuk mengenang korban baik itu dari sisi tentara Jepang maupun tentara Indonesia dengan harapan jiwa mereka bisa mendapatkan ketenangan di alam baka. Makanya, monumennya diberi nama Monumen Ketenangan Jiwa.
Tapi, Eka juga menegaskan pentingnya melihat monumen ini tak hanya dari sisi luka sejarah.
“Kini saatnya kita menggeser narasi. Chinkon no Hi harus jadi simbol rekonsiliasi dan pembelajaran. Jepang dan Indonesia kini sudah berdamai sejak lama, bahkan jadi mitra strategis di banyak bidang,” tegas alumnus Ilmu Sejarah Universitas Diponegoro itu.
Sayangnya, lokasi monumen yang jauh dari pusat kota dan nggak adanya papan penunjuk jalan bikin monumen ini seperti nggak diketahui keberadaannya, bahkan oleh warga Kota Semarang sendiri. Eka pun menyayangkan kondisi ini.
“Monumen ini bukan hanya milik Jepang, tapi bagian dari sejarah kita juga. Menjaganya berarti menjaga ingatan bangsa,” jelasnya.
Dia pun mengusulkan agar pemerintah kota dan komunitas lokal lebih aktif merawat situs ini. Nggak sekadar membersihkan fisiknya, tapi juga memasukkan kisahnya dalam kurikulum lokal atau menjadikannya bagian dari wisata sejarah di Semarang.
“Anak-anak muda perlu tahu bahwa damai itu harus diperjuangkan. Kita belajar dari sejarah agar tak mengulang kesalahan yang sama,” tutupnya.
Agaknya, kita juga harus ikut merawat Monumen Ketenangan Jiwa alias Chinkon no Hi ini agar nggak sampai terlupakan, ya, Millens. Setuju? (Arie Widodo/E10)