Inibaru.id - Butuh keberanian untuk korban melaporkan sebuah tindak pemerkosaan yang dialaminya. Inilah yang dialami seorang perempuan korban kekerasan seksual yang melapor ke Polsek Wewewa Selatan, NTT pada Maret 2025.
Nahas, alih-alih mendapatkan perlindungan hukum, dia justru mengalami pemerkosaan kedua. Selain dianiaya secara psikis dan dipaksa berbicara di ruang tertutup, korban juga dicabuli oleh polisi yang bertugas di situ; menjadi luka yang semakin membekas dan trauma mendalam.
Kekerasan ini bukan hanya luka di tubuh. Kadang ia membekas lebih dalam, menggurat batin, dan nggak selalu bisa disembuhkan oleh waktu. Maka, akan jauh lebih menyakitkan saat korban justru harus kembali mengalami derita yang sama.
Penderitaan itu menjadi berlipat-lipat sakitnya lantaran selain dilakukan pelaku awal juga oleh sistem yang seharusnya bertugas melindungi. Fenomena inilah yang dikenal sebagai reviktimisasi.
Bentuk Pengulangan Penderitaan
Dalam sistem hukum, korban adalah simpul paling lemah. Mereka masuk sistem sebagai pihak yang membutuhkan perlindungan. Maka, apa jadinya jika pihak yang seharusnya bisa menjamin hal itu justru menyelewengkan kuasa itu dan menjadikannya korban untuk kali kedua atau mengalami reviktimisasi.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebutkan, reviktimisasi adalah bentuk pengulangan penderitaan atau trauma korban, baik secara langsung, sistemik, maupun internal. Situasi ini acapkali nggak kasat mata, tapi dampaknya bisa sangat panjang bagi kehidupan korban. yang biasanya anak-anak.
Anggota KPAI Dian Sasmita mengungkapkan, reviktimisasi juga terjadi ketika anak nggak hanya menjadi korban kekerasan fisik, tapi juga dihadapkan pada sistem yang nggak berpihak kepadanya.
"Misal, interogasi berulang, tatap muka dengan pelaku, hingga stigma sosial yang membuat anak merasa bersalah atas kekerasan yang dialaminya,” terang Dian dalam kampanye Hari Anti-Penyiksaan Internasional yang diperingati pada Kamis (26/6).
Lingkaran Kekerasan yang Berulang
Sepanjang 2023 hingga Maret 2025, KPAI mencatat setidaknya ada 8 kasus penyiksaan oleh aparat terhadap anak, 9 kasus kekerasan seksual oleh aparat kepolisian, dan 4 kasus kekerasan terhadap anak oleh pejabat publik. Angka-angka ini diyakini hanya puncak gunung es.
KPAI memperkirakan, masih ada banyak kasus serupa yang luput dari perhatian publik atau nggak tercatat karena korban takut melapor atau justru disalahkan.
"Dalam beberapa kasus, anak korban bahkan kembali dipaksa bertemu pelaku di ruang introgasi, menjawab pertanyaan yang menyakitkan secara berulang, bahkan dipersalahkan oleh lingkungan sosialnya," kata Dian. Kondisi ini menciptakan lingkaran kekerasan yang berulang dan melemahkan upaya penyembuhan trauma."
Sesuai dengan tema kampanye Hari Anti-Penyiksaan Internasional yakni "tidak ada keadilan dalam rasa sakit", menurutnya negara nggak boleh membiarkan satu anak pun menjadi korban penyiksaan, baik secara langsung maupun sistemik, karena setiap anak berhak hidup aman dan bebas dari kekerasan.
Berdampak Buruk terhadap Masa Depan Bangsa
Hal ini juga diungkapkan Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat. Dia menyebut, tindak kekerasan pada anak yang kerap nggak kasat mata bisa berdampak buruk terhadap masa depan bangsa.
"Terlebih, jika kekerasan itu terjadi di tangan aparat atau pejabat publik, sementara sistem hukum malah mempersulit korban," kata Rerie, sapaan akrab politikus Partai Nasdem ini pada Kamis (26/6/2025),
Dia menegaskan, fenomena reviktimisasi anak ini harus segera diakhiri. Indonesia harus menegakkan sistem hukum yang adil dan memiliki perspektif melindungi korban.
"Saat anak-anak bangsa tumbuh dalam lingkungan yang penuh kekerasan dan tidak mendapatkan keadilan, maka akan sulit bagi mereka menjadi generasi penerus yang berkualitas dan mampu menopang kemajuan Indonesia.
Solusi Sistemik
Untuk mengakhiri siklus ini, KPAI menyerukan pentingnya:
- Sistem hukum yang sensitif terhadap anak, termasuk pelatihan aparat penegak hukum agar memahami pendekatan yang tepat dalam menangani anak korban.
- Layanan terpadu dan rehabilitasi berkelanjutan, bukan hanya untuk pemulihan fisik, tapi juga mental dan sosial.
- Peran aktif keluarga, masyarakat, dan sekolah dalam mendeteksi serta mencegah kekerasan sejak dini.
- Keterlibatan media massa untuk mengedukasi publik secara empatik tanpa menyudutkan korban.
KPAI juga menekankan bahwa penyiksaan terhadap anak adalah pelanggaran HAM berat. Negara dan seluruh elemen masyarakat memiliki tanggung jawab untuk memastikan anak-anak tumbuh dalam ruang aman, sehat, dan mendukung tumbuh kembangnya.
Menuju Lingkungan Ramah Anak
Langkah nyata harus segera diambil. Baik di tingkat pusat maupun daerah, perlu ada komitmen bersama untuk menciptakan lingkungan ramah anak.
Mulai dari kebijakan yang berpihak pada korban, penyediaan ruang aman di sekolah dan tempat ibadah, hingga sistem pelaporan yang nggak menyudutkan anak.
Karena masa depan bangsa, sebagaimana disebut Rerie, sangat ditentukan oleh bagaimana kita mendampingi dan membentuk generasi saat ini.
Tak satu pun anak seharusnya tumbuh dengan luka yang tak terlihat; yakni luka yang datang dari sistem yang seharusnya melindunginya.
Sudah seharusnya negara melindungi korban, bukan mencelakakan mereka kali kedua. Jadi, kalau kamu menemukan kasus seperti itu, jangan segan untuk melaporkannya ke pihak-pihak yang berkomitmen penuh terhadap hal ini ya. Yakinlah bahwa kebenaran akan selalu menemukan jalannya! (Siti Khatijah/E07)