Inibaru.id – Sekitar sedekade lalu, batu akik sempat menjadi salah satu komoditas yang banyak dicari orang. Harganya pernah melambung nggak aturan. Kendati ragam warnanya memang unik dan molek saat menghiasi jari, nilai jualnya yang terlampau mahal terkesan nggak masuk akal.
Kala itu, sebagian pembelinya adalah para kolektor, kendati nggak jarang pula yang membelinya sekadar beraji mumpung, memanfaatkan harga pasar yang tengah melambung tinggi, untuk dijual kembali. Di Kota Semarang, pelapak batu akik pun menjamur di mana-mana.
Namun, ini nggak berlangsung lama. Sekira lima tahun berselang, harga batu akik mulai mengalami penurunan. Kala itu, kolektor latah sudah berkurang. Pelapak batu akik pun mulai bertumbangan. Pun demikian dengan pelapaknya.
Di Semarang, lapak yang tersisa mungkin hanya beberapa, salah satunya yang ada di Taman "Badak Angop" Sompok. Terkait nama taman ini, saya sendiri bingung, kenapa dinamai badak angop (menguap), sementara yang ada di sana sejatinya adalah patung kuda nil, bukan badak? Ha-ha.
Menyambangi taman yang berlokasi di Lamper Lor, Semarang Selatan ini, saya melihat 4-5 penjual batu akik yang bertahan di sana. Mereka menggelar lapak di bawah pohon beringin. Beralaskan tikar, batu-batu akik diletakkan berjajar di atas wadah-wadah kecil.
Poimin, salah seorang pelapak, mengatakan, sekitar 2014, penjual batu akik di tempat tersebut lumayan banyak. Namun, sekarang cuma beberapa saja yang tersisa. Beberapa pelapak yang gulung tikar umumnya adalah mereka yang berjualan karena sekadar melihat kesempatan.
Ditemui di lapaknya, lelaki yang biasa disapa Mbah Min ini mengakui, dirinya berjualan juga karena melihat suatu kesempatan. Namun, kala itu dia memang sudah hobi mengoleksi batu akik.
"Karena sudah lama (berjualan), ya sudah diteruskan," kata Mbah Min. "Yakin saja berjualan hingga sekarang."
Mengalami Pasang Surut
Seperti kebanyakan pedagang, Mbah Min juga mengalami pasang surut dalam berjualan akik. Dalam sehari, dia mengaku nggak banyak batu yang terjual, umumnya sekitar 1-2 buah, paling banyak empat batu. Namun, dia nggak pernah mempermasalahkannya.
“Berjualan ini juga termasuk bentuk melestarikan usaha, biar batu akik tetap eksis dan dikenal orang,” tutur lelaki yang biasa membuka lapak dari pukul 09.30 WIB hingga selepas Asar ini.
Saya bisa paham peminat batu akik banyak berkurang. Namun, saya tetap saja terkejut saat tahu harga batu akik kini sangat murah. Mbah Min mengatakan, cukup merogoh kocek Rp 50 ribu kita sudah bisa membawa pulang akik lengkap dengan emban (cincin) yang bisa dipilih sendiri.
“Rata-rata kami jualnya murah saja. Paling murah Rp 25 ribu, paling mahal Rp 350 ribu,” beber Mbah Min sembari menunjukkan beberapa batu akik di lapaknya.
Meski jualannya bersebelahan, antar-pelapak di Taman Badak umumnya nggak saling bersaing. Mereka nggak jarang saling tukar informasi dan nggak segan merekomendasikan akik di lapak sebelahnya kalau akik yang dicari pembeli di tempatnya nggak ada.
Ismanto, pelapak lain yang mengaku sudah berjualan sejak 2014, mengatakan, tren pembeli saat ini umumnya nggak lagi mencari jenis batu akik tertentu. Lelaki berkacamata berusia 64 tahun itu mengatakan, ketertarikan pencinta akik saat ini nggak melulu soal akik yang mahal atau langka.
“Nggak seperti pas booming dulu, sekarang pembeli nggak memilih batu yang spesifik,” terang lelaki yang berjualan batu secara otodidak setelah dia di-PHK dari kantornya tersebut. “Sekarang pembeli itu istilahnya senengan, asal sreg dan suka, pasti dibeli.”
(Masih) Diminati Anak Muda
Seperti keris dan semar mesem (keris kecil berbentuk seperti tokoh wayang Semar), batu akik dikenal memiliki nilai magis. Sebagian masyarakat percaya, batu akik bukan sekadar penghias jari, tapi juga dibeli lantaran unsur kleniknya, yang dipercaya bisa menjadi penglaris atau semacamnya.
Namun, kini nggak semua orang mencari batu akik karena unsur magis ini. Peminatnya juga nggak melulu orang tua. Ismanto mengungkapkan, sebagian pembeli di lapaknya juga nggak sedikit yang masih muda, yang sengaja datang ke Taman Badak untuk membeli akik.
Sejak lama Taman Badak memang dikenal sebagai tempat berjualan batu akik. Para pencinta batu akik umumnya sudah mengetahuinya. Inilah alasan kenapa Ismanto memilih tetap bertahan di lapaknya yang sekarang, kendati sejatinya lapak batu akik dan batu mulia sudah dipusatkan di Pasar Dargo.
“Enak jualan di sini. Adem! Dulu (saya) pernah jualan di Pasar Dargo, tapi sekarang sepi karena disekat-sekat, jadi susah laku,” terangnya, yang segera diiyakan Mbah Min.
Berbeda dengan Ismanto yang pernah pindah ke Pasar Dargo, Mbah Min sejak awal telah berjualan di Taman Badak.
“Kalau di sini paling kami bayar uang kebersihan saja Rp 2.000. Nggak pakai uang sewa, jadi enak,” kelakar Mbah Min.
Butuh keberanian untuk tetap bertahan dengan bisnis batu akik yang tampak nggak lagi diminati pembeli. Namun, nggak ada yang tahu kapan sejarah akan berulang dan batu akik kembali diminati, bukan? (Kharisma Ghana Tawakal/E03)