Inibaru.id – Kampung di lereng tenggara Gunung Galunggung, Tasikmalaya, Jawa Barat itu dikenal sebagai kampung sapu ijuk. Mereka membuat sapu ijuk dari tangkal kawung (pohon aren).
Kini, di tengah gempuran produk sapu pabrikan, masihkah ada yang bertahan menjadi pengrajin sapu ijuk?
Ada, bahkan ratusan. Kompas menulis, salah satu pengrajin itu Jajang YR (60), warga Gajahbarang, Desa Ciawang, Kecamatan Leuwisari, Kabupaten Tasikmalaya. Hanya saja, Jajang nggak tahu sejak kapan ratusan warga di kampungnya memiliki keterampilan membuat sapu ijuk.
Dari cerita orang tuanya, keterampilan itu bermula dari kakeknya, Aki Jasit, yang memiliki empat anak buah. Seiring berjalannya waktu, keempat anak buah kakeknya memiliki sejumlah anak buah lagi yang kemudian menyebar menjadi ratusan pengrajin sapu ijuk hingga sekarang.
Baca juga:
Cilok Kekinian Kaya Saus
Robita, Tas Incaran Sosialita Jepang dari Indonesia
”Namun, saya tidak tahu dari siapa Aki Jasit memiliki keahlian membuat sapu ijuk,” ujar Jajang. Yang pasti, Sobat Millens, sudah berpuluh tahun orang di kampung Jajang memanfaatkan gumpalan ijuk yang diperoleh dari tangkal kawung. Ya, pohon multiguna itu tumbuh di sekeliling Gunung Galunggung yang terakhir meletus dahsyat pada April 1982. Pohon yang tumbuh melalui persemaian alami kotoran luwak itu juga mampu bertahan dari hujan pasir dan debu saat Galunggung meletus.
Berapa rata-rata produksi sapu buatan Jajang? Bersama saudaranya, Herman, 50 sapu ijuk dibuat. Per buahnya dibanderol Rp 22.000. Selain dijual lewat pengepul yang menjajakan secara eceran ke kampung-kampung, sapu-sapu itu juga dijual melalui bandar ke Pasar Singaparna, lima kilometer dari Gajahbarang.
Yap, Jajang, Herman, dan para pengrajin lain adalah orang-orang yang memanfaatkan berkah dari tangkal kawung Gunung Galunggung. Pohon aren yang tumbuh subur di seantero perbukitan Galunggung telah menghidupi keluarga mereka secara turun-menurun sejak puluhan, bahkan ratusan tahun.
Oya, selain membuat sapu ijuk, warga juga memanfaatkan pohon aren untuk disadap dan airnya sebagai bahan baku pembuat gula merah.
Meskipun masih ada yang membuat sapu ijuk, laman Tarumpah.com menulis bahwa jumlahnya terus berkurang. Permintaan yang berkurang menjadi salah satu penyebabnya. Kenapa?
Baca juga:
Kesuksesan Riezka, Kesuksesan Es Pisang Ijo
Nurul Bikin Bisnis demi Banyak Orang
Ada saingan dari produk serupa yang proses pembuatannya menggunakan mesin modern dengan bahan sintetis, yakni plastik. Persaingan utamanya pada harga. Tentu saja yang pabrikan lebih murah ketimbang yang tradisional.
Dalam hal ini, konsumen yang memilih harga yang murah nggak bisa disalahkan. Meski begitu, tetap disayangkan bila para pengrajin sapu ijuk yang sudah ratusan tahun itu hilang lantaran kalah bersaing dengan barang pabrik. Benar, kan? (EBC/SA)