Inibaru.id - “Dalam kepercayaan kami, orang meninggal rohnya juga harus diberi rumah,” begitulah kata Ong Bing Hok, pengrajin rumah kertas dari Kota Semarang, menyambut kedatangan saya. Lelaki paruh baya itu tengah duduk sembari mengamati pekerjaan pegawainya saat saya datang ke rumah produksinya.
“Kalau nggak dikasih rumah, arwahnya bisa tersesat,” sambungnya menerangkan rumah-rumahan yang juga biasa dinamai rumah arwah tersebut. Penjelasannya segera saya timpali dengan mengangguk dan tersenyum sebagai tanda mengerti.
Perlu kamu tahu, dalam tradisi Tionghoa, rumah kertas atau rumah arwah merupakan sesembahan yang dihadiahkan untuk kerabat yang sudah meninggal. Secara simbolik, hadiah ini kemudian "dikirim" ke mendiang dengan cara dibakar.
Di Semarang, turun-temurun keluarga Ong Bing Hok menjadi pembuat rumah arwah. Saat ini, dia adalah generasi ke-4 penerus usaha yang berlokasi di Gang Cilik, Kawasan Pecinan, Semarang Tengah, itu. Rumah Kertas Hok, namanya.
“Kakek buyut saya dulu asli Tionghoa. Kemudian melahirkan kakek saya yang merantau ke Indonesia,” jelasnya.
Rumah Kecil di Gang Cilik
Menyambangi tempat produksi Rumah Kertas Hok, jangan membayangkan lokasinya adalah sebuah pabrik besar dengan gudang yang megah. Tidak! "Studio" produksi Ong hanyalah rumah kecil di salah satu sudut Gang Cilik, tepat di depan Klenteng Hoo Hok Bio.
Dari satu generasi ke generasi lain, di situlah tempatnya. Hm, saya pun sempat kaget dengan rumah produksi tersebut. Namun, di tempat itulah rumah kertas berbanderol jutaan rupiah dibuat. Di situ pula banyak orang menjadi pelanggan setianya.
Ong mengatakan, rumah arwah bikinannya terbuat dari kertas, bambu, dan lem gandum. Untuk kertasnya, dia menggunakan beberapa jenis, mulai kertas HVS, karton, buffalo, marmer, concorde, orin, dan masih banyak lagi.
"Semua kertas-kertas dipilih yang mudah melebur saat dibakar," terangnya.
Lelaki berkacamata itu juga mengimbuhi, yang paling penting dan bernilai dari sebuah rumah arwah bukanlah bahan-bahannya, melainkan cara dan lama pembuatannya. Untuk membuat satu rumah, ungkapnya, dibutuhkan ketelitian dan akurasi.
"Paling nggak semiggu (pembuatannya)," aku Ong. “Maka, (pemesanan) rumah ini nggak bisa diburu-buru. Harus jauh-jauh hari pesannya.”
Membuat Rumah dan Seisinya
Sebuah rumah arwah bikinan Ong dibanderol antara Rp 2 juta hingga Rp 10 juta. Perbedaan harga itu tergantung ukuran dan berbagai detail yang ada di dalam rumah tersebut.
Yap, selain rangka rumah, sebuah rumah arwah juga diisi dengan berbagai perabot dengan skala yang menyerupai rumah pada umumnya. Jadi, dalam pembuatannya, Ong juga perlu membuat perabot rumah tangga, mobil, hingga orang-orangan di dalamnya.
Selain itu, rumah kertas itu juga terdiri atas beberapa bagian. Di samping rumah utama, ada juga gunung-gunungan, gudang, dan tandu. Nah, detail-detail inilah yang membuat sebuah rumah arwah berharga mahal. Selain itu, rumah tersebut juga harus dipesan jauh-jauh hari.
Dalam tradisi Tionghoa, rumah kertas dibakar pada hari ke-40 pasca-kematian seseorang. Seharusnya, ada rentang waktu yang cukup untuk keluarga memesan rumah kertas. Namun, kadang ada pembeli yang memesan dadakan atau pengin secepat mungkin.
Untuk orang yang menginginkan kecepatan, Ong mengaku biasanya hanya akan memberi stok lama, bukan yang sesuai rekues.
"Kalau begitu, nggak bisa membuat bagus," kata dia, yang sejurus kemudian mengajak saya ke loteng rumahnya untuk melihat beberapa stok rumah kertas yang dimilikinya. Rumah kertas yang siap diantarkan juga disimpan di tempat tersebut.
Oya, dalam membuat rumah kertas, Ong mengaku punya satu pantangan. Rumah kertas yang dipesan, tuturnya, nggak boleh sama dengan rumah aslinya. Untuk yang satu ini, dia mengatakan pernah punya pengalaman kurang menyenangkan.
“Pernah ada yang (minta dibuatkan rumah dengan desain) sama. Setelah itu, rumahnya banyak gangguan,” kenangnya.
Orba, Pandemi, dan Generasi Selanjutnya
Di Semarang, bisnis yang dijalankan keluarga Ong Bing Hok tampak baik-baik saja sekarang. Namun, bukan berarti usaha "Rumah Kertas Hok" itu selalu lancar. Selama Orde Baru, segala hal yang berhubungan dengan etnis Tionghoa sangat dibatasi, termasuk bisnis rumah arwah keluarganya.
“Dulu, zaman Pak Karno (Presiden Sukarno) bahkan masih ada sekolah Tionghoa. Setelah itu, nggak ada sampai sekarang,” keluh Ong.
Selama Indonesia dipimpin Soeharto, Ong menambahkan, kakek dan ayahnya mencoba bertahan dalam segala keterbatasan. Setelah rezim Orba lengser, situasinya baru perlahan membaik, bahkan kian benerang setelah dipimpin Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Saat ini, usaha rumah kertas milik lelaki yang kini berusia 71 tahun itu nggak hanya dikenal orang Semarang. Pembelinya juga datang dari kota-kota lain, sebut saja misalnya Wonosobo, Purwokerto, Magelang, dan Muntilan.
Rumah Kertas Hok didatangi pembeli karena kualitasnya yang terjaga. Kendati usaha rumah kertas kini sudah semakin banyak, Ong mengatakan, kebanyakan orang membuatnya dengan kualitas yang pas-pasan.
Namun demikian, dia nggak memungkiri, menjamurnya bisnis rumah kertas di Semarang dan sekitarnya juga memengaruhi pesanan di tempatnya. Terlebih, di tengah pandemi, pembatasan acara keagamaan pun kian menyurutkan jumlah pesanan rumah arwah di tempatnya.
Meski begitu, Ong mengaku bersyukur lantaran hingga kini bisnisnya masih bertahan. Tugasnya sekarang adalah mencari penerus, mengingat dia sudah nggak muda lagi.
“Ada (penerus), nanti anak saya. Tradisi kalau menurut saya, jangan sampai hilang. Harus diteruskan, meski nantinya akan berkurang,” pungkasnya.
Di tengah tradisi yang kian retas, semoga produksi rumah kertas nggak bernasib nahas! Kamu pernah menyaksikan pembakaran rumah arwah juga, Millens? (Audrian F/E03)