Inibaru.id - Nilai-nilai jurnalisme yang begitu relevan bagi industri media kian dimentahkan oleh realitas hari-hari ini. Gelombang digitalisasi dan penetrasi kecerdasan buatan atau "akal imitasi" (AI) generatif yang semakin deras menghantam ruang redaksi, memaksa mereka mencari pijakan baru.
Di satu sisi, ancaman misinformasi meningkat, sementara rekening yang kering membuat laju media kian nggak gesit, tersendat, bahkan gulung tikar di banyak kota. Upaya mencari solusi pun datang dari DPRD Jawa Tengah melalui Focus Group Discussion (FGD) bertema “Sustainability Media di Era Digital”.
Bertempat di Dreamlight World Media, Kabupaten Semarang, Rabu (29/10/2025), forum ini menjadi arena pertarungan antara akselerasi teknologi dengan tuntutan etika, yang bermuara pada satu kesepakatan yang solid cum tegas, bahwa teknologi hanyalah alat, sedangkan hati nurani jurnalis adalah kompas utama.
CEO Tempo Digital, Anak Agung Gde Bagus Wahyu Dhyatmika, mengungkapkan bahwa "krisis global" ini nggak hanya dirasakan media lokal, tapi juga media nasional. Namun begitu, lelaki yang akrab disapa Bli Komang meyakini bahwa AI bukanlah ancaman mutlak.
"AI adalah realitas baru yang harus diintegrasikan secara cerdas," tutur sosok bersahaja yang saat ini menjabat sebagai Ketua Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) tersebut.
Keterlibatan, Bukan Nilai Berita
Komang nggak menafikan fakta bahwa pendapatan iklan media terus menurun akhir-akhir ini. Di banyak negara seperti AS, Inggris, dan Australia, lebih dari 70 persen belanja iklan digital kini dikuasai oleh Google dan Meta, sementara media konvensional hanya memperoleh sekitar 5 persen.
"Ini ironis. Di tengah peningkatan jumlah pengguna internet, pendapatan iklan media justru terus menurun," sebutnya.
Menurutnya, platform besar dan algoritma rekomendasi kini menjadi penjaga gerbang baru, yang menentukan apa yang dilihat audiens, yang seringkali bukan berdasarkan nilai berita, melainkan potensi keterlibatan (engagement).
"Dampaknya, konten sensasional dan partisan lebih cepat naik ke permukaan dibandingkan liputan mendalam yang faktual," jelasnya.
Ketergantungan terhadap platform digital menciptakan dilema bagi media karena lalu lintas kunjungan ke laman berita kini lebih bergantung pada media sosial dan mesin pencari, sementara rekomendasi algoritmik menurunkan jangkauan "berita bagus" yang menerapkan prinsip dan nilai jurnalisme.
"Ditambah adanya tekanan politik dan keterbatasan iklan pemerintah, independensi ruang redaksi pun kian dipertaruhkan," ungkap Komang.
Beradaptasi dengan AI
Kepercayaan publik terhadap berita di media sosial juga rendah, diperburuk oleh meluasnya disinformasi dan maraknya konten palsu yang disebarkan oleh akun anonim maupun sistem otomatis.
"Tanpa perubahan model bisnis media, masalah keterlibatan audiens dan keberlanjutan finansial akan terus berulang,” simpul Komang dalam pemaparannya.
Solusinya adalah dengan beradaptasi. Sebagaimana diketahui, perkembangan teknologi AI, mulai dari machine learning hingga generative AI, telah mengubah cara kerja di ruang redaksi. Mesin mampu menulis berita, membuat gambar, video, bahkan meniru suara manusia hanya dari perintah teks.
"Produksi berita menjadi mudah. Banyak media memanfaatkan teknologi ini untuk efisiensi dan diversifikasi format," terang Komang.
Namun, kemudahan itu datang bersama risiko besar. Perlu diketahui bahwa generative AI dapat menciptakan deepfake, konten sintetis yang tampak realistis, padahal sepenuhnya palsu. Survei global menunjukkan bahwa 71 persen masyarakat belum memahami apa itu deepfake.
"Ini membuat mereka semakin rentan terhadap manipulasi digital. Bahkan, data internal Tempo mencatat adanya peningkatan signifikan penyebaran konten palsu berbasis AI selama 2024," paparnya.
Etika dan Diversifikasi Pendapatan
Komang pun mengingatkan pentingnya mengembangkan AI yang etis (ethical AI), yakni akni kecerdasan buatan yang tetap menghormati agensi manusia, nilai kemanusiaan, dan konteks lokal. Etika ini sudah diatur oleh pemerintah maupun Dewan Pers.
Pemerintah Indonesia telah menempuh langkah strategis dengan Peraturan Presiden No 32 Tahun 2024, yang mewajibkan platform digital menegosiasikan kesepakatan komersial dengan penerbit untuk konten jurnalistik berkualitas.
Sementara, Dewan Pers melalui Regulasi No 1 Tahun 2025 memperkuat landasan hukum dan etika penggunaan AI dalam jurnalisme. Regulasi ini diharapkan dapat melindungi hak cipta, memastikan kompensasi yang adil bagi penerbit, serta menegakkan transparansi dalam algoritma dan sumber data pelatihan AI.
Selain etika, Komang juga menekankan pentingnya kolaborasi untuk meningkatkan pendapatan. Mengacu pada model bisnis media global seperti News Corp, The New York Times, The Guardian, hingga eldiario.es, kemandirian media dapat dicapai melalui diversifikasi pendapatan seperti langganan digital, keanggotaan, hingga bundling produk.
"Model baru bahkan muncul, yaitu B2A2C (Business-to-AI-to-Consumer), di mana media melisensikan kontennya kepada platform AI untuk disalurkan ke pengguna lewat asisten digital atau chatbot," paparnya.
Kolaborasi di Atas Kompetisi
Untuk menuju ke sana, Komang menyebutkan, media perlu menata ulang infrastrukturnya seperti memperkaya metadata dan API, memperkuat integrasi teknologi AI, dan meningkatkan literasi data serta etika digital di ruang redaksi. Selain itu, media juga perlu mengubah mindset dari kompetisi menjadi kolaborasi.
"AMSI telah mengembangkan aggregator konten nasional yang menghimpun artikel dari hampir 100 media anggota AMSI. Ini membuka peluang kolaborasi dengan startup lokal yang sedang mengembangkan AI generatif berbasis bahasa Indonesia untuk dilatih menggunakan konten berita nasional," kata dia.
Langkah ini bukan hanya bentuk kemandirian teknologi, tetapi juga upaya menciptakan ekosistem berbagi data dan pendapatan antarmedia.
“Kita perlu memastikan AI yang tumbuh di Indonesia berpijak pada nilai-nilai lokal dan semangat keberagaman,” tegasnya.
Untuk itulah Komang memetakan tiga hal yang perlu diupayakan untuk menuju masa depan media yang tangguh. Yang pertama adalah Diversifikasi, yakni mengurangi ketergantungan pada iklan dan mulai membangun pendapatan berbasis pembaca.
"Yang kedua adalah Integrasi AI. Mulai susun konten terstruktur, siapkan tim lintas disiplin, dan bangun keahlian berlisensi," ujarnya.
Terakhir, adalah Adopsi B2A2C. Jalin kesepakatan adil dengan platform AI, pastikan adanya transparansi dan pengawasan editorial.
“Untuk bertahan, media harus berevolusi secara bertahap; engage dengan pembaca, adaptif dengan AI, lalu membangun model baru yang berkelanjutan,” tutupnya.
AI bukan akhir dari jurnalisme, tapi level baru yang perlu disikapi media dengan bijak, bersama-sama, dan penuh integritas. Saat dunia kian diatur oleh algoritma, ruang redaksi memang harus adaptif, tapi tetap mengedepankan humanisme untuk menjaga kepercayaan pembaca. (Siti Khatijah/E10)
