Inibaru.id - Konsep toko bisnis ini mirip-mirip. Bentuk rukonya kecil dan hanya dilapisi dinding seadanya. Tampilan warnanya pun selalu ngejreng dan cerah. Nyaris nggak pernah yang bernuansa gelap. Di dalam ruko ini juga selalu terpampang sebuah etalase kecil layaknya konter-konter pulsa. Itu pun nggak pernah dijaga secara serius.
Sudah paham dengan gambaran itu tadi sebagai tempat apa? Kalau belum, ada tanda yang paling menonjol di depannya, yakni sebuah tulisan “Viagra” yang besar dan dilengkapi lampu neon box sederhana yang cukup untuk menerangi kios kecil itu. Yap, nggak salah lagi, itu semua adalah gambaran dari kios obat kuat.
Saya awalnya penasaran, mengapa kios obat kuat punya ragam serupa. Ada lagi, meskipun tampaknya sepi, dan jarang ada kendaraan pembeli terparkir di depannya, namun kios itu bisa bertahan bertahun-tahun dan semakin menjamur. Sungguh misterius!
Sampai kemudian suatu ketika ada teman saya yang entah mungkin mendapatkan wangsit dari mana lalu memutuskan berjualan obat kuat.
“Kios-kios di jalan itu cuma buat pantas-pantas saja. Buat nunjukin kalau 'ini lo aku jual obat kuat beneran, bukan nipu', tapi perdagangan yang sebetulnya ada di dunia maya,” ujar temanku yang ingin disebut dengan Rofiq saja saat saya hubungi via gawai pada Rabu (17/2/2021).
Menurut Rofiq, bisnis obat kuat secara daring ada hubungannya dengan iklan-iklan menggangu yang suka muncul tiba-tiba kalau kamu sedang buka website, ya seperti iklan judi juga. Nah, di bagian itulah para pedagang saling bersaing sekalipun misalnya punya paguyuban yang sama.
Untuk bersaing di kanal daring, seorang penjual harus punya ahli website yang mumpuni. Jasa mereka berguna untuk berebut rating di toko online, baik itu web atau e-commerce.
“Bayangkan, teman-temanku yang ada di bisnis ini hanya lulusan SMA tapi berani bayar anak IT sebulan Rp 3 sampai Rp 5 juta. Itu juga tergantung pada rating yang diinginkan,” terang Rofiq.
Para pedagang ini juga bertarung di toko online. Agar dagangannya selalu dilihat oleh pembeli, setiap penjual nggak cukup punya 1 akun saja. Kata Rofiq, satu penjual bisa punya puluhan bahkan sampai ratusan akun.
Kebetulan, Rofiq menjual obat kuat saja, untuk menambah durasi dan menambah ukuran alat vital. Rekan sekaligus pesaing Rofiq, ada yang juga menjual alat bantu kepuasan.
“Harganya mahal dan yang jualan juga banyak, jadi untungnya nggak bisa dipastikan,” ujar Rofiq ketika ditanya kenapa enggan menjualnya juga.
Jualan di Sosmed
Kalau tadi Rofiq jualan lewat pasang iklan dan toko belanja online, berbeda dengan teman saya satunya lagi yang ingin disebut dengan Yanuar. Dia pernah berjualan obat kuat secara daring namun lewat kanal media sosial.
Yanuar berjualan lewat Facebook. Di Facebook ini dia menggunakan fasilitas “Facebook Ads”, atau pengiklanan di Facebook. Waktu itu, hasil dari jualan obat kuat lewat Facebook sungguh menggiurkan, namun akhirnya dia berhenti karena Facebook lebih kritis dalam memfilter dagangan seseorang.
“Sekarang nggak bisa pasang karena Facebook ketat. Bisa pun mati satu tumbuh seribu,” terangnya saat dihubungi lewat pesan singkat pada Minggu (7/3).
Lebih detail Yanuar menjelaskan kalau pada dasarnya dagang obat kuat di media sosial manapun kalau lewat Ads, akan selalu kesulitan. Kebanyakan yang jual hanya secara organik, dengan akun-akun biasa. Atau bisa juga diendorse seseorang. Namun sebetulnya lewat ads itu punya kelebihan tersendiri meskipun harus bayar terlebih dahulu.
“Kalau lewat ads, data-datanya jelas, mulai dari kalkulasi harga, berapa jumlah orang mengecek dagangan kami, berapa presentase ketertarikan warganet pada produk kami,” jelasnya.
BTW, kamu pernah menyangka nggak kalau perdagangan obat kuat sampai sebegitunya, Millens? (Audrian F/E05)