Inibaru.id - Kalau kamu lagi jalan-jalan ke kawasan Keprabon, Solo, coba deh sempatkan mampir ke Warung Londo Warsoe di Jl. Ahmad Dahlan No. 17. Dari luar mungkin terlihat seperti warung rumahan biasa, tapi begitu kamu tahu sejarahnya, kamu bakal sadar bahwa tempat ini adalah salah satu saksi hidup percampuran kuliner Jawa dan western food sejak lebih dari setengah abad lalu.
Warung ini awalnya dirintis pada 1950-an oleh eyang buyut Rahmawati, pemilik yang kini meneruskan usaha keluarga itu. Dulu, Keprabon dikenal sebagai “Kampung Bule,” semacam Prawirotaman Jogja tapi versi Solo. Banyak orang asing tinggal di hotel melati atau homestay setempat, entah untuk belajar, bekerja, atau sekadar singgah. Mereka jadi pelanggan tetap warung ini, bahkan sebelum warga lokal meliriknya.
“Banyak turis asing makan di sini setiap hari, karena ya lokasinya dekat dengan tempat mereka menginap,” ungkap Rahmawati sebagaimana dinukil dari Suaramerdeka, Jumat (5/12/2025).
Awalnya sih menu warung ini khas rumahan lokal seperti gado-gado. Tapi karena interaksi intens dengan para bule, keluarga Rahmawati lama-lama akrab dan kemudian ikut ketularan resep dari bule-bule tersebut.
Ceritanya begini, pada era 1960-an, Soeranti, ibu Rahmawati, mulai mengelola warung dan justru sering mengizinkan pelanggan bule memasak menu mereka sendiri di dapur. Ada Phillip dan Jennie dari AS yang rajin bikin olahan telur, ada Hans dari Italia yang berbagi resep pizza rumahan. Dari situ, perlahan-lahan berbagai resep western food masuk ke buku menu keluarga ini.
Rahmawati yang sejak kecil membantu ibunya di dapur akhirnya makin serius mendalami dunia kuliner. Seusai SMA, ia kuliah di Ambarrukmo Palace Tourism Academy Yogyakarta dan belajar langsung praktik F&B di Ambarrukmo Palace Hotel. Pengetahuan itu membuatnya makin lihai mengembangkan menu ala Barat, tapi tetap bisa disesuaikan dengan selera lokal.
Era kejayaan warung yang dulu bernama Warung Baru hadir pada dekade 1980–1990-an. Toast Guacamolle, Beef Stroganoff, hingga roti hitam legendaris bernama Black Bread jadi favorit banyak pelanggan, termasuk istri Duta Besar Singapura yang konon pernah khusus datang hanya untuk membeli roti itu. Bahkan Lonely Planet pernah mencantumkan warung ini dalam rekomendasi kuliner Solo.
Namun badai besar datang setelah kerusuhan Mei 1998. Turis asing enggan mendatangi Keprabon, dan pasar utama Warung Baru pun hilang seketika. Keluarga Rahmawati lalu berputar haluan kembali ke menu lokal, sebelum akhirnya menghidupkan lagi menu-menu Barat seiring membaiknya kondisi.
Nama Warung Londo Warsoe menandai babak baru usaha ini. “Warsoe” adalah singkatan dari Waroeng Soeranti, sebagai penghormatan kepada sang perintis. Kini tempat ini kembali ramai, viral di media sosial, dan jadi favorit mahasiswa, pekerja kantoran, hingga wisatawan. Menu western food mereka juga beradaptasi jadi bebas alkohol, lebih ramah selera lokal, dan tentu saja halal. Harga yang dipatok di sana pun terjangkau, mulai Rp10 ribu sampai Rp50 ribu, tapi kualitas tetap nomor satu.
Meski banyak tawaran franchise dari berbagai kota, keluarga Rahmawati masih memilih fokus pada satu dapur yang telah mereka rawat secara turun-temurun. Hal inilah yang membuat Warung Londo Warsoe unik, kaya sejarah, dan mampu menyajikan rasa yang terjaga sejak 1950-an.
Kalau kamu ke Solo, jangan lupa mampir dan rasakan sendiri cerita panjang yang kini tersaji hangat di meja makan Warung Londo Warsoe, Gez. (Arie Widodo/E07)
