Inibaru.id – Jika membahas soal kuliner mi, Indonesia mungkin bisa dianggap sebagai juaranya di seluruh dunia. Maklum, variasinya banyak dan rasanya juga enak-enak. Salah satunya adalah mi lethek. Sayangnya, di tengah semakin populernya mi instan kekinian, popularitas mi lethek semakin menurun.
Kok namanya lethek, ya? Dalam Bahasa Jawa, lethek memang bisa diartikan sebagai kusam atau kotor. Mi lethek memang memiliki warna kusam kecoklatan karena terbuat dari tepung aren. Terkesan kusam dan kotor, mi lethek tampak beda jauh dari mi pada umumnya yang putih atau kekuningan.
Tempat yang bisa kamu kunjungi untuk melihat pembuatan mi lethek adalah Dusun Tuksongo, Desa Tuksongo, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Di tempat tersebut, seorang laki-laki berusia 68 tahun bernama Siswandi jadi satu-satunya produsen mi lethek di kecamatan yang terkenal dengan candi megahnya itu.
Menurut Siswandi, warna mi lethek memang terkesan kusam akibat bahan utamanya adalah tepung aren. Jadi, kalau ada yang menganggap mi berjenis soun ini dibuat di tempat yang nggak higienis, itu sama sekali nggak benar ya, Millens.
Mi yang dproduksi Siswandi justru mempunyai keunggulan, yaitu mi tanpa bahan pengawet dan bahan-bahan kimia berbahaya lainnya.
Memproduksi Mi Lethek Sejak 30 Tahun Lalu
Siswandi menekuni pembuatan mi lethek sudah 30 tahun, lo. Menurut ceritanya, Desa Tuksongo dulu memiliki banyak pohon aren. Batang pohon aren itu yang bisa diolah menjadi tepung. Siswandi dan warga lain membeli tepung aren tersebut untuk dijadikan mi lethek.
Sayangnya, warga kemudian beralih menjadi petani tembakau yang dianggap mampu memberikan keuntungan lebih. Pohon-pohon aren pun kemudian dibabat dan digantikan tembakau atau tanaman lainnya.
Siswandi nggak patah arang melihat bahan baku mi letheknya menghilang di desanya. Dia "mengimpornya" dari Banjarnegara.
“Saya beli tepung aren ke Banjarnegara untuk bikin mi lethek ini. Harganya Rp 11.100 kilogram,” cerita Siswandi, Jumat (26/8/2022).
Setiap kali membeli, dia bisa mendapatkan 1,5 ton tepung aren. Meski terlihat banyak, jumlah tersebut hanya mampu mencukupi kebutuhan produksi beberapa hari saja.
“Setiap hari kira-kira habis 400 kilogram tepung aren. Dari setiap 100 kilogram tepung, menjadi 70 kilogram mi lethek.
Peminat Mi Lethek Masih Banyak
Meski pamornya kalah dari mi instan, Siswandi mengaku nggak kesulitan menjual mi letheknya dengan harga Rp 125 ribu per bal. Pasalnya, peminat makanan yang menggunakan mi lethek masih banyak.
Kebanyakan pembelinya adalah pedagang mi khas Jawa dan masyarakat yang menggelar hajatan. Ya, mi lethek yang diolah menjadi mi goreng memang hampir selalu ada pada berkat hajatan.
Karena hanya satu-satunya, dalam berbisnis mi lethek, Siswandi nggak punya pesaing, nih. Bahkan di area Magelang, Purworejo, hingga Wonosobo dialah yang memasok mi lethek. Nggak heran keberhasilannya itu mampu membuatnya menghidupi keluarga, menyekolahkan lima anaknya sampai perguruan tinggi, serta memberikan gaji ke 5 orang pegawainya.
Wah, meski namanya mi lethek dan terkesan suram, prospek bisnisnya lumayan cerah, ya, Millens. Kamu sudah pernah menikmati kelezatan mi lethek belum? (Kom/IB09/E10)