Inibaru.id - Tahukah kamu bahwa putih telur nggak hanya bisa dijadikan sebagai bahan makanan saja? Ternyata putih telur juga bisa dijadikan sebagai bahan perekat bangunan, lo. Nggak percaya? Silakan kamu datang ke Pulau Penyengat di Kepulauan Riau.
Di pulau yang berada di kawasan Tanjungpinang itu, kamu bakal menemukan masjid yang konon dibangun dengan bahan putih telur sebagai perekatnya, yaitu Masjid Sultan Riau. “Putih telur dicampur dengan pasir, kapur, dan tanah liat. Sejarahnya begitu,” ujar marbot Masjid Sultan Riau, Hambali dilansir dari Kompas.com (18/5/2017).
Karena keunikannya, nggak mengherankan, masjid ini pun menjadi ikon wajib untuk dikunjungi jika kamu datang ke Pulau Penyengat.
Masjidnya memiliki warna kuning sebagai warna kebesaran dari bangsa Melayu. Warna tersebut menutupi hampir seluruh bagian luar hingga ke bagian dalam bangunan masjid. Diselingi dengan warna hijau di beberapa ornamen untuk keindahan. Pada empat bagian sisi masjid juga terdapat menara tinggi menjulang yang berwarna kuning. Terlihat megah dari luar, masjid tersebut berada nggak jauh dari dermaga, persis di depan gerbang bertuliskan "Selamat Datang".
Baca juga:
Uniknya Masjid Lumpur Agadez
Masjid Agung Isfahan, Masjid Tertua di Iran yang Menjadi Warisan Dunia
Berdiri di atas tanah seluas 55 x 33 meter persegi, bangunan utama Masjid Sultan Riau berukuran 18 x 20 meter yang ditopang empat tiang beton. Setelah melewati gerbang masjid dan menaiki tangga, kamu akan menemukan pendapa di sisi kanan dan kiri. Masjid tersebut memiliki 13 kubah yang bentuknya seperti bawang dan empat menara, yang jika ditotal menjadi 17. Jumlah tersebut melambangkan jumlah rakaat salat lima waktu dalam sehari-semalam. Selain itu, masjid ini juga kedap suara dan dapat meredam gema jika berada di dalamnya, lo.
Menjadi salah satu masjid tertua di negeri ini, Masjid Sultan Riau dibangun pada 1832. Tepatnya pada saat pemerintahan Yang Dipertuan Muda VII Raja Abdurrahman. Masjid ini pada awalnya nggak sebesar sekarang. Bentuknya kecil, berlantai batu dan hanya berdinding kayu. Namun karena jumlah jamaahnya semakin banyak, masjid tersebut lama-lama nggak mampu menampung masyarakat Pulau Penyengat yang beribadah.
Akhirnya, masjid Sultan Riau dibangun seperti sekarang atas prakarsa Raja Abdurrahman yang merupakan cucu dari Raja Haji Fisabililah, Pahlawan Nasional Indonesia asal Riau. Saat itu, pembangunan masjid dilakukan oleh seluruh warga Pulau Penyengat dengan bergotong-royong. Dibangun secara swadaya, mereka menyumbangkan bahan material hingga bahan makanan.
Nah, salah satu bahan makanan yang paling banyak disumbangkan adalah telur. Akhirnya para pekerja merasa bosan karena setiap hari makan telur hingga yang dimakan hanya kuning telurnya saja. Lalu sang arsitek memiliki ide supaya putih telurnya nggak terbuang sia-sia. Dia pun memerintahkan untuk mencampur putih telur ke dalam material bangunan bersama dengan pasir dan kapur. Ternyata putih telur tersebut berhasil menjadi perekat yang kokoh hingga menjadi bangunan masjid yang indah seperti sekarang.
Setelah selesai diperbaiki dan diperluas, masjid ini menjadi satu-satunya peninggalan Kerajaan Riau yang masih utuh dan bentuknya nggak berubah sampai sekarang. Wajar pemerintah telah menjadikannya situs Cagar Budaya yang harus dijaga dan dilestarikan.
Baca juga:
Al Noor, Masjid Pertama dan Bukti Perjuangan Panjang Muslim Dominika
Masjid Bayan Beleq, Saksi Bisu Masuknya Islam di Tanah Lombok
Oya, nggak hanya bangunannya saja yang unik, lo. Hal menarik lainnya dari Masjid Sultan Riau yaitu adanya dua mushaf Alquran yang ditulis tangan yang disimpan di masjid. Salah satu Alquran tulisan tangan tersebut ditulis oleh Abdullah Al Bugisi pada 1752. Sayang, karena sudah tua dan rapuh, Alquran tersebut hanya disimpan saja. Mushaf ini tersimpan bersama sekitar 300 kitab lain yang nggak dipertunjukkan kepada pengunjung. Sedangkan Alquran lainnya, kamu bisa melihatnya dipajang dalam peti kaca di depan pintu masuk.
Adapun Alquran yang dipajang tersebut ditulis oleh Abdurrahman Stambul. Siapa dia? Abdurrahman ini merupakan warga biasa di Pulau Penyengat. Dia dikirim oleh Kerajaan Lingga ke Mesir untuk memperdalam ilmu agama Islam. Setelah kembali dari Mesir, dia menjadi guru dan terkenal dengan khat atau kaligrafi gaya Istanbul. Di sela-sela waktu luangnya ketika mengajar itulah, dia menulis. Nggak diketahui sejak kapan dia mulai menulisnya, yang jelas Alquran tersebut selesai ditulis pada 1867. (ALE/SA)