Inibaru.id - Perjuangan puluhan tahun menjaga garis pantai di sisi timur Kota Semarang dengan pagar mangrove bersama keluarga dan masyarakat di Kecamatan Tugu dan sekitarnya mulai membuahkan hasil.
Setelah tahun lalu menerima penghargaan Kalpataru, pada penghujung tahun ini Sururi, petani mangrove asal Mangunharjo, Kecamatan Tugu, kembali meraih penghargaan prestisius di bidang lingkungan.
Di tengah maraknya bencana di Provinsi Sumatra dan Aceh, lelaki paruh baya ini menorehkan tinta emas dengan meraih penghargaan People of the Year 2025 dari stasiun televisi nasional Metro TV untuk kategori "Pelopor Tanggap Bencana".
Penyerahan penghargaan itu diketahui dari unggahan akun Instagram @metrotv. Sururi menerima langsung piala tersebut dari Pemimpin Redaksi Metro TV, Budiyanto, Sabtu (6/12/2025).
"Selamat kepada Sururi sebagai penerima penghargaan #PeopleoftheYear2025 kategori Pelopor Tanggap Bencana," tulis narasi akun @metrotv.
Sururi meraih penghargaan tersebut berkat perjalanan panjangnya merawat pohon mangrove di sepanjang pantai Semarang yang belakangan didera banjir rob serius. Berkat ekosistem alami yang dia bangun selama puluhan tahun, kampung halamannya yang sempat tergerus abrasi berhasil terselamatkan.
Penghargaan dari Metro TV semakin menegaskan reputasi Sururi sebagai tokoh kunci dalam penyelamatan pesisir utara dari ancaman abrasi. Nggak hanya di Semarang, kiprahnya bahkan meluas hingga sepanjang garis pantai di Jawa Tengah (Jateng).
Melengkapi Pencapaian Sebelumnya
Prestasi demi prestasi yang diraih Sururi menjadi kebanggaan tersendiri bagi keluarga Sururi. Mustafid Ahmad, salah seorang putranya, melihat kerja ayahnya nggak pernah surut, meski usianya terus bertambah. Baginya, ketekunan Sururi merawat mangrove adalah keteladanan yang sulit ditandingi.
Sebagaimana diketahui, setahun yang lalu, laki-laki yang sering dijuluki Kiai Mangrove itu sempat diganjar penghargaan Kalpataru 2024 oleh Menteri Lingkungan Hidup untuk kategori Perintis Lingkungan. Mustafid mengatakan, penghargaan dari Metro TV ini menjadi capaian penting setelah Kalpataru.
"Alhamdulillah, Bapak kembali mendapat apresiasi dari Metro TV melalui People of the Year. Hal ini semakin memotivasi kami untuk lebih giat menghijaukan pesisir utara Jawa," ujarnya saat dihubungi Inibaru.id, Senin (8/12).
Sebagai penerus Sururi dalam upaya konservasi mangrove, Mustafid mengaku nggak terbebani dengan rentetan pencapaian yang ditorehkan oleh ayahnya. Sebaliknya, dia justru semakin termotivasi untuk melanjutkan perjuangan tersebut.
"Tidak terbebani sama sekali, malah kami sebagai anak merasa termotivasi dan senang bisa membantu melestarikan mangrove. Perjuangan Bapak (Sururi) tidak boleh terhenti, harus terus berlanjut," paparnya.
Kembalikan Garis Pantai hingga 2 Kilometer
Penghargaan yang didapatkan Sururi adalah buah dari perjuangan yang disemai sejak puluhan tahun silam. Sururi mengatakan, dia mulai bergerak setelah Mangunharjo, kampung halamannya, digerus abrasi sekitar 1990-an. Tambaknya raib diklaim lautan.
Sejak medio 1984, Sururi mengatakan, warga Mangunharjo yang sebagian besar berprofesi sebagai petani tambak memang mulai melakukan perluasan tambak dan membangun infrastruktur menjorok ke laut. Hasilnya bagus. Namun, rupanya itulah awal dari petaka yang menimpa kampungnya.
Baca Juga:
Serunya Naik Turun Bukit di Perkampungan Padat saat Mengikuti Aktivitas Urban Hiking SemarangSururi yang kehilangan tambak pada 1992 sempat kelimpungan menghidupi keluarga. Sempat merantau ke Malaysia tapi nggak membuahkan hasil, bapak enam anak ini kemudian memilih pulang dan mempertanyakan arah hidup. Nah, di titik inilah dia menemukan tujuan hidup baru, yakni sebagai petani mangrove.
"Tujuan saya sederhana, yakni menyelamatkan desa dari abrasi yang semakin parah," tutur Sururi. "Dulu Mangunharjo hampir tenggelam karena abrasi. Kalau tidak ada yang menanami mangrove, kampung ini bisa saja hilang."
Sejak 1995, Sururi secara konsisten mulai menyulami garis pantai dengan mangrove, yang kini telah berubah menjadi kawasan hutan mangrove seluas lebih dari 82 hektare di sisi utara Mangunharjo sekaligus menjadi benteng alami yang melindungi tiga kampung, yakni Mangunharjo, Mangkang Wetan, dan Mangkang Kulon.
Sururi menyebutkan, kegigihannya mempertahankan Mangunharjo nggak lepas dari kegelisahannya melihat apa yang terjadi di pesisir Demak. Dia menyaksikan bagaimana Bedono (Kecamatan Sayung) lenyap ditelan laut dan Timbulsloko berubah menjadi kampung terapung di atas air asin.
"Sekarang jarak garis pantai ke permukiman sekitar 2 kilometer. Dulu, ke laut cuma lima menit; tapi sekarang butuh setengah jam," tandasnya dengan perasaan bangga.
Perjuangan Sururi menunjukkan bahwa ketahanan pesisir nggak selalu lahir dari proyek besar, tetapi dari ketekunan seorang warga yang menanam harapan setangkai demi setangkai pohon mangrove. Selamat, Pak Sururi! (Sundara/E10)
